Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kajian Aswaja · 9 Sep 2023 08:00 WIB ·

Kontroversi Kebolehan Mengasingkan Diri dari Orang Lain


 psikotauhid.web.id Perbesar

psikotauhid.web.id

Mengasingkan Diri – Dalam hidup, terdapat keadaan tertentu di mana seseorang mungkin perlu mengambil jarak sementara waktu. Alasannya adalah untuk merenungkan masalah atau menenangkan diri dalam situasi konflik atau tegang.

Hal ini, penting untuk menjaga komunikasi terbuka dan membicarakan masalah tersebut dengan orang yang terlibat secepat mungkin untuk mencari pemahaman dan solusi bersama.

Dalam konteks hukum Islam, ada perbedaan dalam memahami hukum mendiamkan orang lain (mengasingkan diri) tergantung pada alasan dan tujuan di balik tindakan tersebut.

Alasan Rasulullah Mengasingkan Diri dari Istrinya Selama 40 Hari

Mengasingkan diri dari orang lain

jambi.tribunnews.com

Hal ini sebagaimana yang telah Nabi Muhammad alami. Beliau pernah mendiamkan istrinya selama 40 hari, dan juga Ibnu Umar yang mendiamkan anaknya sampai beliau wafat.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَجَرَ بَعْضَ نِسَائِهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَابْنُ عُمَرَ هَجَرَ ابْنًا لَهُ إِلَى أَنْ مَاتَ

Abu Dawud berkata: “Nabi Muhammad ﷺ meninggalkan beberapa istrinya selama empat puluh hari, dan Ibnu Umar meninggalkan anaknya sampai ia meninggal.”[1]

Dari latar belakang ini, KH. Hasyim Asy’ari kemudian mengomentari bahwa berpalingnya Rasulullah SAW kepada istrinya, dan Ibnu Umar kepada anaknya, karena ada alasan tertentu dan ulama menerima alasan tersebut.

Alasan beliau sederhana, karena berpalingnya Rasulullah dan Ibnu Umar tersebut memang karena Allah.[2] Alasan ini diambilkan dari ungkapan Abu Dawud yang tertera dalam kitabnya.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «إِذَا كَانَتِ الْهِجْرَةُ لِلَّهِ فَلَيْسَ مِنْ هَذَا بِشَيْءٍ» وَإِنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ غَطَّى وَجْهَهُ عَنْ رَجُلٍ

Abu Dawud berkata: “Jika hijrah itu adalah karena Allah, maka tidak ada yang lebih utama daripada itu. Dan sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz menutup wajahnya (tidak bertemu) dari seorang laki-laki.”[3]

Hal-hal yang Diperbolehkan Ketika Mengasingkan Diri dari Orang Lain

Alasan Mengasingkan diri

‘Abd al-Muhsin al-‘Ibad memperkuat penjelasan di atas, bahwa jika mengambil jarak atau menjauhi seseorang terkait dengan urusan yang berkaitan dengan Allah, seperti meninggalkan kelompok bidah atau orang-orang yang melakukan dosa, maka hal tersebut boleh untuk dilakukan.

Kemudian, jika upaya menghindar itu bermanfaat dan berpengaruh baginya, terutama jika dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengaruh, seperti orang tua atau orang yang memiliki tanggung jawab, maka perkara tersebut menjadi hal yang diharapkan.[4]

Namun, jika sarana menghindar tidak memiliki manfaat atau terjadi dalam situasi yang tidak jelas, atau jika alasan menghidar tidak tertuju kepada orang yang melakukan kemaksiatan atau tidak ada konsekuensi yang merugikan, maka hal tersebut termasuk ujian bagi sebagian orang.

Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dan seseorang harus tetap menjaga agamanya dalam situasi seperti ini, sehingga tidak merusak perasaan orang lain.[5]

Kesimpulan

Mengasingkan Diri

psikotauhid.web.id

Dari uraian ini memiliki benang merah bahwa boleh mendiamkan orang lain ketika memiliki manfaat.

Yaitu menghindarkan diri dari berbaur dengan orang-orang yang melakukan dosa ataupun orang-orang yang melakukan bid’ah. Apalagi bagi orang yang memiliki tanggung jawab besar di masyarakatnya.

Hal ini memang ketika adanya ketakutan ketika berbaur dengan mereka, maka keburukan akan membaur dengannya. Yang agama larang adalah ketika memutus silaturahmi tanpa adanya udzur syar’i. Karena hal tersebut tidak boleh untuk melakukannya dan tergolong ke dalam dosa besar.

[1] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Beirut: Al-Maktabah al-‘Asyriyyah, tt), 280/IV
[2] Hasyim Asy’ari, At-Tibyan fi Nahyi ‘an Maqothi al-Arham wa al-Aqorib wa al-Ikhwan (Jombang: Maktababh at-Turats al-Islami, tt), 14
[3] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Beirut: Al-Maktabah al-‘Asyriyyah, tt), 280/IV
[4] ‘Abd al-Muhsin al-‘Ibad, Syarh Sunan Abi Dawud (Maktabah Syamela), 559/VIII
[5] Ibit.

Artikel ini telah dibaca 14 kali

Baca Lainnya

Larangan Memutus Silaturahmi Bagi yang Masih Hidup dan Mati

13 September 2023 - 08:00 WIB

larangan memutus silaturahmi

Hadits Keutamaan Silaturahmi dalam Islam Beserta Penjelasannya

11 September 2023 - 12:17 WIB

Keutamaan silaturahmi dalam Islam

Hukum Menjaga Silaturahmi Kepada Keluarga & Keistimewaannya

11 September 2023 - 08:00 WIB

menjaga silaturahmi

Bentuk Indahnya Silaturahmi dengan Keluarga dan Sesama

11 September 2023 - 08:00 WIB

menjaga silaturahmi

Hadits Menyambung Silaturahmi Adalah Puncak Keutamaan

9 September 2023 - 12:17 WIB

hadits menyambung silaturahmi

Hadits Larangan Marah Lebih dari 3 Hari

9 September 2023 - 08:00 WIB

hadits larangan marah
Trending di Kajian Aswaja