Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Ruang Seni · 12 Apr 2024 23:13 WIB ·

Ning, Senja Hari Raya, dan Cerita yang Tak Bisa Kuselesaikan


 Ning, Senja Hari Raya, dan Cerita yang Tak Bisa Kuselesaikan Perbesar

OIeh: Ach. Rofiq*

Huh, sedikit lelah. Keramaian sudah mereda. Sekarang, aku duduk di tepian pantai. Senja, dengan keindahannya, seolah perlahan menghapus penat setelah seharian sibuk menyambut dan bertukar cerita dengan setiap tamu yang datang, tanpa henti, langkah-langkah ringan dan senyum-senyum penuh makna sanak saudara, kerabat, dan ratusan santri memenuhi rumah kami selepas Salat Ied, tadi.

Merayakan Hari Raya Idul Fitri di sini memang sangat berbeda. Biasanya, di kampungku, dulu, aku ingat sudah beberapa puluh tahun lalu, sekitar jam sepuluh pagi, aku sudah selesai untuk sekadar bersalam-salaman dengan sanak keluarga. Namun, di sini, tamu terus berdatangan, dari pagi hingga sore, bahkan masih akan berlanjut hingga malam, bahkan tujuh hari ke depan.

Aku ditemani oleh riuh deburan ombak yang mengalun lembut. Cakrawala memamerkan indahnya lukisan alam, dengan rona senja yang mempesona. Matahari yang mulai terbenam menorehkan warna oranye di langit, menciptakan siluet indah di balik laut yang tenang. Suasana tenang merayap perlahan menggantikan kesibukan. Rumah-rumah di pinggir jalan terlihat teduh, diterangi oleh cahaya lampu yang mulai menyala satu per satu, mengisyaratkan akan kedatangan malam, Sementara, sayup-sayup suara selawat tarhim mulai terdengar dari suar-surau.

Aku tetap duduk tenang di tepi pantai, merenung dalam keheningan, membiarkan diriku tenggelam dalam keindahan ciptaan Tuhan. Setiap hembusan angin membawa segar yang menenangkan. Seperti biasa, tanpa perlu diminta, setiap kali senja memasuki panggungnya, menyinari langit dengan warna-warni yang memesona, bagaimana bisa aku menahan diri untuk tidak mengingatmu? Melihat senja, aku seperti melihatmu. Indah, tapi tak lebih indah darimu. Sejenak, lalu kupandangi fotomu yang kupotret di sebuah gedung kampus lantai dua beberapa puluh tahun lalu.

Kuakui kau memang cantik, manis pula, tapi tak terlalu, masih kalah dengan beberapa teman gadisku. Bahkan, dulu, saat aku memutuskan untuk mencintaimu dengan kegilaan,  aku tidak begitu tahu detail wajahmu, palingan cuma bentuk matamu yang serupa kacang almond dibalut kacamata bening serta pipi dengan tahi lalat menempel di sebelah kiri.

Meski begitu, kau 99% perempuan yang sempurna bagiku, teduh. Begitu kulihat, dadaku gemuruh, lalu bibirku mendadak kering serupa padang pasir. Itu hanya fotomu, apalagi aslinya. Tapi ingat, hanya 99%, akan jadi 100% jika kau bersamaku, hehe. Tapi mungkinkah?

“Kau ini nanggung, tak ada usaha untuk mendekatinya!” protes adikku dulu.

Sebenarnya,  bukan nanggung. Aku hanya bingung bagaimana cara mendekatimu.

“Selamat sahur, Ning!”

Konyol! Aku bukan Mimi Peri! Lagi pula, kau tak seperti perempuan-perempuan kebanyakan yang 24 jam aktif sosial media.

“Assalamualaikum, sudah hafal berapa bit Alfiyahnya, Ning?”

Tidak, ini lebih konyol! Kalau kau membalas seperti ini?: “Kamu siapa, ya? Gak penting!”

Atau kuhubungi saja dirimu melalui sambungan telepon, mengajakmu ngobrol, bercerita tentang bagaimana kau bisa menyukai teater dan lain sebagainya. Namun, dulu, aku tidak berani, palingan kau akan menolak panggilanku lalu memblokir nomorku.

Atau, jika aku tetap memaksa, sehari setelahnya akan ada WhatsApp misterius  yang akan masuk ke ponselku: “Sekali lagi kau ganggu kekasihku, habis riwayatmu!”

Bukankah itu mengerikan, Ning?

Mungkinkah aku mengirimimu kado spesial setiap 15 Maret? Menuliskan pesan-pesan alay lalu menyelipkan kata: selamat ulang tahun, Ning! Ah tidak! Sejak kapan aku menjadi lelaki norak seperti itu? Aku tidak berani, aku juga tak mau, barangkali sudah banyak lelaki yang melakukan hal itu padamu, yang mungkin juga salah satunya adalah lelaki yang kau suka. Aku lebih tenang dengan cukup mengirimimu Surah Al-fatihah seusai salat Magrib atau Subuh.

Apa aku harus jujur saja? “ Assalamualaikum, Ning! Kamu adalah perempuan yang paling kuinginkan untuk hidup menua. Bagiku, kau 99% sempurna.”

Lebih konyol! Kau tidak akan percaya! Atau, jika percaya, mungkin balasanmu akan seperti ini. “Waalaikumussalam. Iya, aku memang 99% sempurna bagimu, tapi kamu sama sekali tak ada sempurna-sempurnanya bagiku. Maaf, jangan ganggu aku!”

Skakmat!

Barangkali begini: kuajak dirimu duduk bersama di sebuah kafe pinggir pantai,  memandang senja di atas hamparan laut, dari sudut yang sama, lalu mendengarmu bercerita sambil kupandangi bibirmu yang embun, matamu yang purnama. Dan…. ini tidak bisa kulanjutkan, terlalu kejauhan.

“Apa tanya kabar kau tak pernah?” tanya adikku, lagi.

Jangankan menanyakan kabar, mau perkenalan saja dulu aku linglung, hanya melihat-lihat story-story­­­­mu setiap menjelang buka puasa atau di waktu sahur, kalau ada. Jika tidak, aku akan seperti anak kecil meminta adikku agar membujukmu untuk memosting cerita. Kau tak perlu bingung, sebab, dengan cara apa lagi aku bisa memastikan bahwa kau baik-baik saja, sementara untuk komunikasi saja susahnya sudah seperti meminta tanda tangan presiden? Lalu, jika yang kau unggah berupa wajahmu, aku screenshoot, tak pernah ketinggalan sekalipun. Kutonton beruang-ulang sambil tersenyum. Konyol!

Setelah itu, aku akan mencari namamu di antara deretan nama-nama lain yang menonton ceritaku. Kalau ada aku puas, kalau tidak aku tarik napas sambil menunggumu melihatnya, berulang kali. Nyatanya, jarang, mungkin cuma 2 dari 10. Uh, Ning! seandainya kau tetanggaku, mungkin akan kulempar jendelamu dengan batu, dulu.

“Sok asik!”, “Hadeh.”,“Lebay.”, mungkin begitu responsmu jika tahu aku begitu.

Aku tahu, saat itu aku ada di deretan beberapa lelaki yang juga menginginkanmu. Kalau dilihat dari kualitas, aku akan ada di paling dasar. Mungkin saja, lelaki-lelaki itu mendekatimu dengan beragam cara: mengirimimu pesan romantis, memberi hadiah, dan lain sebagainya. Tapi, aku tak seberani lelaki-lelaki itu.

Kau mungkin tak percaya. Dulu, bahkan sampai detik ini, jika dalam sehari ada sekian ratus ribu detik, maka namamu mengisi sepertiga detik dalam pikiranku, siang malam, sisanya mungkin saat aku tidur. Itu belum termasuk bayanganmu dalam mimpi-mimpi yang membikin gelisah, rindu, gila, cemburu, ketika aku terbangun.

“Sudahlah, kak! Lupakan dia, gampang sekali bagimu untuk mendapatkan wanita yang lebih cantik darinya,” protes adikku lagi.

Memang tidak salah apa yang dikatakan adikku, aku bisa saja mencintai perempuan lain yang dengan mudah bisa kudapatkan. Namun, sekali mencintai, ya, mencintai, meski kau mencintai lelaki lain sekali pun.  Aku kepincut. Dan bagi lelaki yang hatinya sudah kepincut, Perempuan pujaannya tidak akan ada tandingannya, sungguh! Meski Shalsabila Adriyani sekalipun!

Salah satu yang menarik darimu: antisipasimu dengan lelaki. Bukankah ini petaka bagiku? Iya! Tapi tenang saja, dulu, aku tidak merusak prinsipmu kan? Aku hanya diam; menikmati kegilaan meski teramat mengerikan.

Ning, jika kau anggap hidup serupa pantai, barangkali kau cukup nikmati saja debur ombaknya, halus pasirnya, desir anginnya juga lambaian cemaranya. Sesekali juga bisa kau potret langit biru yang sedikit berawan. Atau, rona merah saat matahari seperti akan tercelup ke laut. Bukankah itu kesukaanmu? Aku juga suka. Tapi aku tak menirumu, sungguh!

“Namun, jika kau anggap hidupmu seperti laut.. “ kugantung suaraku.

Kau mengerut, melirik, manyun, ah, makin cantik! Aku tersenyum, tiga detik, tak lebih.

“Jika laut, kau harus melawan ombak, bukan menikmati, itu lebih menantang.”

“Jika bisa dinikmati, mengapa musti dilawan?” balasmu, kemudian.

“Melawan karena ada yang ingin didapatkan, menikmati belum tentu mendapatkan, bukan? Ketika sudah mendapatkan, kapan saja bisa kau nikmati.”

“Sepertimu,” susulku dalam hati.

Lagi-lagi, kau hanya mengerut, menggeleng sejenak, berdiri, lantas berjalan ke arah bongkahan batu di bibir pantai itu.

Aku mengela napas. Laut, langit, dan kau, sama saja! Sama-sama penuh misteri.

“Kau perempuan yang 99% sempurna bagiku,” ucapku, lirih. Kau pasti tak mendengar, karena sesungguhnya kau tak benar-benar dan ingin mengenalku.

Itu hanya kemungkinan yang menurutku sudah paling luar biasa untuk bisa kurasakan suatu saat: bercakap bersamamu, sejenak, meski akhirnya ditinggal dalam kebingungan. Tidak usah khawatir, itu hanya andai-andaiku dulu.

Hari-hari mengagumi seolah tiada usai, meski aku tidak mungkin bisa memilikimu. Sebab, pada hakikatnya, tidak akan ada perempuan yang abai terhadap lelaki yang ia cintai. Maka, cukup kukagumi saja kau dari jauh, hingga sampai di titik di mana rasa itu perlahan memudar, hilang. Aku tak ingin mengganggumu. Sok asik, bukan?

Tanpa pesan, tanpa panggilan, tanpa komunikasi, lihatlah, sehening itukah aku mencintaimu? Aku selalu berhasil menahan diri untuk tidak mengagungimu, tapi aku selalu gagal untuk tidak merindumu. Aku juga selalu berhasil untuk bertindak biasa biasa pada siapapun yang kau cintai, tapi aku selalu gagal unuk menahan gemuruh cemburu dan patah hati.

Bagaimana bisa aku mencintai orang serumit dirimu? Dulu, sebetulnya aku sudah menahan diri untuk tidak menyukaimu, karena untuk mendapatkanmu barangkali hujan harus turun tidak berupa air dulu, tapi hatus batu, daun dan lain-lain. Yang ada pada dirimu, seolah sulit dimiliki perempuan lain. Mohon maaf, aku bingung untuk menjelaskan bagaimana aku bisa mencintaimu.

Setelah dipikir-pikir, aku menemukan satu alasan: Wajah teduhmu. Bagaimana bisa aku tidak terpesona dengan wajah teduhmu? Menenangkan setiap sorot mata yang memandang. Itu saja, keteduhanmu tak benar-benar bisa kueja, dirangkai jadi kata, sungguh, serupa makhluk utuh yang bahasa manusia kekurangan kata untuk menjelaskannya.

“Nak, kelak kamu akan berjodoh dengan putri keturunan kiai, wanita yang salihah.”

Dawuh itu tiba-tiba terbesit dalam ingatanku, menyelusup masuk dalam benak yang terkadang tak terduga: dawuh seorang kyai keturunan pendiri pesantrenku. Beliau merupakan sosok kiai yang sering menafsirkan mimpi-mimpinya.

Dulu, beliau melihat saya dalam mimpinya berkali-kali yang entah dalam keadaan apa dan bagaimana aku dalam mimpinya. Beliau meneleponku, mengajak  bertemu untuk berbicara empat mata. Suatu temu, beliau mengatakan bahwa aku akan berjodoh dan dicintai oleh anak seorang kiai.

Apakah yang beliau sampaikan akan menjadi kenyataan? Jika benar, apakah dirimu jawabannya?

“Astagfirullah, GR sekali kau!” mungkin begitulah komentar adik-adikku jika mereka mendengar apa yang terlintas dalam pikiranku.

“Kau GR juga, perempuan itu sudah tak cukup menarik bagiku, sungguh!”

Mungkin aku akan membalas seperti itu. Benarkah?

***

Suara adzan maghrib memecah lamunanku, aku harus segera pulang. Kulihat, beberapa helai ubanku yang sedari tadi jatuh ke pasir dihempaskan angin. Lalu aku memegang batang pohon cemara, menopang tubuhku untuk berdiri. Kuraih tongkatku, lalu melangkah, terasa berat, ngilu.

“Kek, ayo cepat pulang, nenek dari tadi marah-marah karena tidak diajak….”

Aku tersenyum mendengar suara itu, ia adalah cucuku. Seorang cucu yang…, Maaf, aku tidak bisa menyelesaikan cerita ini. Atau, dirimu yang akan melanjutkan?

Selamat Hari Raya Idul Fitri, Ning!

 Lapa Laok, 15-20 Maret 2024

*Santri aktif PP. Annuqayah, menulis cerpen dan naskah film pendek. Peraih Nominasi Sutradara terbaik pada Festifal Film Pendek Media Pondok Jawa Timur 2023. Beberapa karyanya mendapat penghargaan di tingkat nasional maupun regional. Cerpen-cerpennya dimuat di media cetak maupun online, seperti Suara Merdeka, Republika, atau Kompas.id.

Artikel ini telah dibaca 78 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

5 Rekomendasi Objek Wisata Lebaran Populer di Jawa Timur

15 April 2024 - 19:53 WIB

Pentingnya Puasa Ramadhan dalam Islam: Dasar Pensyariatan, Kewajiban, dan Manfaatnya

29 Februari 2024 - 13:52 WIB

Bolehkah Puasa Sunnah Tapi Masih Ada Hutang Puasa Wajib

Bertawaf Di Gunung Ijen

29 Februari 2024 - 12:01 WIB

Aku dan Bulan

24 Februari 2024 - 14:46 WIB

Ummu Sulaim

Ruang Gus Dur Di Minha Tebuireng Jombang

20 Februari 2024 - 11:45 WIB

Malam Jum’at Di Tanah Suci

20 Februari 2024 - 10:51 WIB

Trending di Ruang Seni