Tantangan aswaja di era milenial sungguh sangat memprihatinkan. Pasalnya, digitalisasi telah membuat pandangan tentang aswaja menjadi buruk. Maka dari itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan akar masalahnya dan upaya pencegahannya. Selamat membaca!
Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asyari menjelaskan tentang pengertian Aswaja dalam kitabnya Ziyadut Ta’liqot sebagai berikut “Adapun Ahlusunnah Wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fiqh, merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (Al firqoh al najiyah) mereka mengatakan bahwa kelompok tersebut terhimpun dalam 4 madzhab, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.”
Dari definisi di atas, Aswaja bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari aliran aliran yang menyimpang dari Islam yang hakiki, tetapi Aswaja adalah Islam yang murni sebagaimana ajaran nabi dan sesuai dengan pengamalan para sahabatnya.
Kontekstualisasi Aswaja di Indonesia
Jika ditarik ke dalam ruang lingkup ke Indonesiaan, internalisasi ajaran Aswaja ini bisa diaplikasikan sebagai sikap keberagaman yang toleran (Tasammuh), seimbang (Tawazzun), moderat (Tawassuth), dan konsisten pada sikap adil (I’tidal).
Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang prural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda – beda, sehingga inilah yang kita sebut sebagai Karakter Aswaja.
Pengikisan Ajaran Aswaja di Zaman Digitalisasi
Tetapi, kita juga tidak bisa menutup mata akan karakter Aswaja yang semakin terkikis karena zaman yang semakin global. Sebut saja zaman digitalisasi, zaman yang penuh dengan sistem digital yang semakin membuat kehidupan manusia menjadi instan, walaupun pada akhirnya berefek pada kemalasan para penikmatnya, contoh kecilnya adalah sosmed.
Pada sosmed (sosial media), suara suara media besar tak lagi benar bahkan sudah mainstream. Inilah era di mana masing–masing individu bisa beropini bebas dan hebatnya opini mereka bisa terdengar, tidak saja oleh penguasa lokal akan tetapi oleh dunia luar.
Hal ini tidak lepas dari pengaruh teknologi yang makin hari makin jadi, dengan kemampuan teknologi yang mampu menghipnotis umat manusia, segala hal dapat terakses dengan mudah dan cepat tanpa memikirkan masalah maupun mafsadat, dan sebenarnya hal inilah yang kemudian oleh musuh menggunakannya untuk memerangi Islam Aswaja.
Bagaimana tidak? Era milenial telah memberikan kejutan–kejutan yang barangkali tak pernah adanya prediksi sebelumnya, seperti pada tahun 2015, Facebook menjadi ladang subur untuk menyebarluaskan ajaran ISIS dengan sembunyi-sembunyi di Indonesia, hal ini membuat karakter Aswaja semakin terkikis karena banyaknya alat potensial yang bisa mengikis ajaran Aswaja.
Upaya Pencegahan
Oleh karenanya musuh terbesar umat Islam Aswaja bukanlah kemiskinan ataupun pengangguran lagi, tetapi pada dasarnya musuh terbesar umat Islam Aswaja adalah ideologi serumpun yang mencoba perlahan lahan mengikis dan menghapus peran dan karakter Aswaja di era digital.
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tempat terbesar ajaran Aswaja sungguh memprihatinkan, jumlah yang sangat banyak serta tidak ada peran signifikan dalam menentukan arah peradaban yang kokoh, di tambah keadaan digitalisasi yang semakin membuat pergesekan antara ajaran–ajaran yang lain.
Dalam rangka mencegahnya harus ada solusi guna memfilter dan mengkontrol ajaran Aswaja supaya tetap eksis walau berada di era digital, yakni pengoptimalisasian karakter Aswaja di era milenial melalui musyawarah dunia maya yang berdasar pada spirit perdamaian, dan asas kekeluargaan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Sehingga harapannya dapat menekan angka pergesekan baik antar ajaran secara khusus, maupun antar agama pada umumnya.
Terimakasih telah membaca artikel kami tentang tantangan aswaja di era milenial. Baca juga artikel kami lainnya di santrikeren.id dan media sosial kami di Duta Damai Santri Jawa Timur.