Hukum mengucapkan “Selamat Natal” bagi umat Islam menjadi diskusi yang terus berulang setiap tahunnya. Para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini, tergantung pada cara mereka memandang interaksi sosial dan hubungan dengan non-Muslim. Pendapat-pendapat ini lahir dari perbedaan pemahaman terhadap syariat Islam dan situasi umat di berbagai konteks.
Sebagian ulama menganggap ucapan “Selamat Natal” sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan. Mereka mendasarkan pendapat ini pada prinsip bahwa mengucapkan selamat dalam perayaan agama lain berarti mendukung atau menyetujui syiar agama tersebut. Imam Khotib as-Syirbini menjelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj:
يُعَزِّرُ مَنْ وَافَقَ الْكُفَّارَ فِي أعْيادِهِمْ … وَمَن هَنَّاهُ بعيد
“Orang yang sepakat dengan orang kafir di hari raya mereka berhak untuk ditakzir,… atau orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama lain).” (Mughni al-Muhtaj, IV/191)
Pendapat ini lebih menekankan pada perlindungan akidah seorang muslim agar tidak terjebak dalam pengakuan terhadap kepercayaan agama lain.
Namun, sebagian ulama lainnya memberikan kelonggaran, terutama dalam kondisi tertentu yang menuntut seseorang untuk berinteraksi dengan non-Muslim, seperti pejabat publik, tokoh masyarakat, atau individu yang memiliki hubungan sosial luas. Dalam situasi semacam ini, ucapan tersebut diperbolehkan sejauh bertujuan menjaga harmoni sosial dan tidak melibatkan keyakinan keagamaan. Imam As-Subuki menyebutkan:
فلوِ اقْتَضَتْ مَصْلَحَةُ الْمُسْلِمِينَ إلى ذلك واشتدَّتْ حَاجَتُهُمْ إِلَى مَنْ يَفْعَلُهُ فَالَّذِي يظهرُ أَنَّهُ يَصِيرُ كَالإِكْرَاهِ
“Apabila kemaslahatan umat Islam menuntut itu, sementara terdapat kebutuhan yang mendesak pada seseorang yang melakukannya, maka sudah jelas statusnya seperti orang yang terpaksa.” (Al-Asybah wa An-Nadhair Li As-Subuki, II/34)
Lebih lanjut, Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menambahkan perspektif yang lebih inklusif. Beliau menyatakan bahwa seorang muslim boleh mengucapkan selamat kepada ahlul kitab atas perayaan mereka, seperti Natal atau hari besar Yahudi. Tak hanya itu, beliau juga menyebutkan bahwa takziyah kepada mereka yang sedang berduka adalah sunnah. Dalam kitabnya disebutkan:
يَجُوزُ تَهْنِئَةُ الْكِتَابِيين : النَّصَارَى وَالْيَهُودِي بأفراحهم ويجوز تَعزِيْتُهُمْ بِمَصَائِبِهِمْ بَلْ يُسَنُ ذَلِكَ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ
“Boleh mengucapkan ‘selamat’ pada ahlul kitab di hari raya mereka, baik Yahudi atau Nasrani. Begitu pula boleh takziyah kepada mereka saat terkena musibah, bahkan hal tersebut disunnahkan.” (Istifta’ an-Nas, hlm. 10)
Dari pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum mengucapkan “Selamat Natal” bergantung pada konteks dan niat seseorang. Dalam situasi yang tidak mendesak, sebaiknya kehati-hatian diutamakan untuk menjaga akidah. Namun, jika keadaan menuntut, maka ucapan tersebut dapat dilakukan selama niatnya adalah untuk menjaga hubungan sosial tanpa melibatkan keyakinan agama lain.
Perbedaan ini menggambarkan keluasan syariat Islam dalam menghadapi persoalan modern. Sebagai umat muslim, penting untuk mempelajari pandangan ulama secara menyeluruh dan bijaksana dalam memilih sikap, selalu mengutamakan kemaslahatan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip agama.