Membiasakan Diri Bersikap Husnuzan – Pernahkah Anda tahu, kenapa kita disuruh untuk berpikiran husnuzan pada saat kita dalam keadaan sakit atu susah?
Tidak hanya agar kita terbebas dari rasa putus asa oleh rahmat Allah saja, akan tetapi masih banyak alasan lain yang dapat meyakinkan kita agar dapat berpikiran husnuzan.
Berikut akan kami uraikan tentang alasan membiasakan diri bersikap husnuzan.
Membiasakan Diri Bersikap Husnuzan dalam Keadaan Sakit
Bagi orang yang sedang mengalami musibah atau cobaan, seperti sakit, dan lain sebagainya, harus selalu membiasakan diri untuk berpikiran positif (husnuzan), bahwa Allah SWT memiliki rencana yang lebih baik untuk hambanya tersebut.
أَنَّ تَحْسِينَ الظَّنِّ بِاَللَّهِ تَعَالَى مَنْدُوبٌ لِلْمَرِيضِ، وَاخْتَلَفُوا فِي الصَّحِيحِ، فَقِيلَ الْأَوْلَى لَهُ تَغْلِيبُ خَوْفِهِ عَلَى رَجَائِهِ. وَاَلَّذِي رَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِهِ عَلَى الْمُهَذَّبِ: الْأَوْلَى لَهُ اسْتِوَاؤُهُمَا. وَقَالَ الْغَزَالِيُّ: إنْ أَمِنَ دَاءَ الْقُنُوطِ فَالرَّجَاءُ أَوْلَى، أَوْ أَمِنَ الْمَكْرَ فَالْخَوْفُ أَوْلَى.
“Berprasangka baik kepada Allah Ta’ala itu sangat dianjurkan (sunah) bagi orang yang sedang sakit. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa yang lebih utama adalah mengalahkan rasa takutnya dengan harapannya.
Sedangkan menurut Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh al-Muhadhdhab berpendapat: Yang lebih utama adalah kedua hal tersebut seimbang.
Imam al-Ghazali berkata: Jika seseorang terbebas dari penyakit keputusasaan, maka harapannya lebih utama. Tetapi jika seseorang terbebas dari tipu daya, maka ketakutan lebih utama.[1]
Dalam permasalahan sehat dan sakit yang dialami oleh seseorang, Imam Ibnu Hajar memiliki dua pandangan, apakah ia mendapatkan rahmat dari Allah atau siksa. Menurutnya, ketika orang tersebut sakit, maka yang ditekankan kepadanya adalah aspek harapan.
Harapan inilah yang dapat memberikan motivasi dan dorongan bagi seseorang untuk melawan penyakit dalam masa menjalani perawatannya. Ini dapat membantu mengatasi rasa putus asa dari rahmat Allah dan membantu seseorang tetap fokus pada pemulihan.[2]
Larangan Berputus Asa Atas Musibah yang Terjadi
Karena ketika seseorang tidak memiliki rasa husnuzan, orang tersebut pastinya akan muncul rasa putus asa. Di mana rasa putus asa ini, para ulama sepakat bahwa hal tersebut termasuk dosa besar.
Selain itu, rasa putus asa juga dapat membuat rasa sakit yang diderita oleh seseorang menjadi lebih parah. Karena tidak ada harapan sembuh bagi orang-orang yang memiliki rasa putus asa.[3]
Membiasakan Diri Bersikap Husnuzan – Penutup
Membiasakan diri untuk bersikap husnuzan dalam kondisi apapun adalah sebuah perjalanan yang membutuhkan kesabaran, pengertian, dan kesadaran diri.
Dengan latihan yang konsisten dan komitmen untuk berpikir positif, seseorang dapat membentuk sikap yang memungkinkan mereka menghadapi tantangan hidup dengan sikap yang tenang dan penuh rasa Syukur.
Referensi
[1] Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawajir ‘an Iqtirof al-Kabair (tk. Dar al-Fikr, 1987), 151/I
[2] Ibit.
قُلْت: الْكَلَامُ فِي مَقَامَيْنِ: أَحَدُهُمَا: شَخْصٌ يَجُوزُ وُقُوعُ الرَّحْمَةِ لَهُ وَالْعَذَابُ، فَهَذَا هُوَ الَّذِي تَعَرَّضَ لَهُ الْفُقَهَاءُ، فَإِنْ كَانَ مَرِيضًا نُدِبَ لَهُ تَغْلِيبُ جَانِبِ الرَّجَاءِ،
[3] Ibit.
وَإِنْ كَانَ صَحِيحًا اخْتَلَفُوا فِيهِ كَمَا رَأَيْت. ثَانِيهِمَا: شَخْصٌ أَيِسَ مِنْ وُقُوعِ شَيْءٍ مِنْ أَنْوَاعِ الرَّحْمَةِ لَهُ مَعَ إسْلَامِهِ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي كَلَامُنَا هُنَا فِيهِ، فَهَذَا الْيَأْسُ كَبِيرَةٌ اتِّفَاقًا لِأَنَّهُ يَسْتَلْزِمُ تَكْذِيبَ النُّصُوصِ الْقَطْعِيَّةِ الَّتِي أَشَرْنَا إلَيْهَا، ثُمَّ هَذَا الْيَأْسُ قَدْ يَنْضَمُّ إلَيْهِ حَالَةٌ هِيَ أَشَدُّ مِنْهُ، وَهِيَ التَّصْمِيمُ عَلَى عَدَمِ وُقُوعِ الرَّحْمَةِ لَهُ، وَهُوَ الْقُنُوطُ بِحَسَبِ مَا دَلَّ عَلَيْهِ سِيَاقُ (فَهُوَ يئوس قنوط). وَتَارَةً يَنْضَمُّ إلَيْهِ أَنَّهُ مَعَ عَدَمِ وُقُوعِ رَحْمَتِهِ لَهُ يُشَدَّدُ عَذَابُهُ كَالْكُفَّارِ، وَهَذَا هُوَ الْمُرَادُ بِسُوءِ الظَّنِّ هُنَا، فَتَأَمَّلْ ذَلِكَ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ.