Larangan Berburuk Sangka – Pernahkah Anda menyadari bahwa dunia modern yang sudah serba canggih seperti sekarang, di mana komunikasi dengan menggunakan media sosial yang kurang bijak, menampakkan gaya hidup hedonis dan flexing kekayaan, menjadikan sikap suudzon semakin mengerikan.
Kurangnya pemahaman tentang ajaran dan nilai-nilai Islam yang tidak sepenuhnya seseorang pahami, membuat sikap suudzon semakin menjangkiti masyarakat. Sedangkan sikap husnudzon sendiri belum bisa secara maksimal dalam penerapannya.
Tidak hanya itu, ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan emosi negatif dan prasangkanya terhadap orang lain, telah menjebak mereka ke dalam pemikiran dan sikap yang buruk tanpa dasar yang kuat.
Hal ini bisa memiliki kaitan dengan pengalaman-pengalaman traumatis atau ketidakpastian dalam hidup yang telah mereka alami.
Dalam permasalahan yang lain, munculnya sikap suudzon pada seseorang bisa juga karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya kerjasama, kepercayaan, serta hubungan yang harmonis dalam masyarakat.
Hal-hal seperti ini yang kemudian membuat hubungan sosial berjalan dengan tidak baik. Yaitu ketika seseorang memiliki pandangan tidak percaya kepada orang lain, maka hal tersebut akan menyebabkan kerugian baginya, maupun orang lain.
Larangan Berburuk Sangka
Hal-hal yang telah disebutkan di atas merupakan masalah sosial yang dialami oleh seseorang yang bisa disebut sebagai prasangka buruk. Padahal dalam al-qur’an telah menjelaskan agar kita menjauhi perkara tersebut. Sebagaimana dalilnya:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا ٱجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka karena sebagian prasangka mengandung dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Perihal ini, Imam al-Ghazâli kemudian berkomentar bahwa orang yang menghakimi orang lain dengan berprasangka buruk, maka setanlah yang menggerakannya. Memanjangkan lidahnya dengan ghibah (menggunjing), yang justru akan menghancurkan dirinya sendiri.
Kemudian, orang yang hatinya dipenuhi dengan prasangka buruk juga akan lalai dalam memenuhi hak orang lain, bahkan enggan untuk memuliakan mereka. Melihat orang lain dengan pandangan yang merendahkan, di mana ia memandang dirinya lebih baik daripada mereka.
Semua itu justru menjadikan kehancuran bagi dirinya. Oleh karena itu, syariat melarang orang untuk berprasangka atau mengungkapkan tuduhan-tuduhan yang buruk.[1]
Larangan Berburuk Sangka Kepada Tuhan
Prasangka buruk terkadang memiliki kaitannya dengan Tuhan. Keadaan ini sebagaimana yang bisa dicontohkan yaitu ketika seseorang berprasangka bahwa Tuhan adalah Dzat yang kejam dan tidak adil.
Orang yang memiliki pandangan seperti ini, bisa jadi karena ia melihat penderitaan dan ketidakadilan di dunia. Sebagaimana terdapat orang yang memiliki kehidupan yang bahagia, di sisi lain ada orang yang dalam keadaan sengsara.
Pandangan ini kemudian dijadikan sebagai bukti bahwa Tuhan tidak peduli, serta tidak adil kepada hambanya, karena memihak kelompok atau individu tertentu dan menyengsarakan yang lain.
Dalam kasus lain misalnya, Tuhan juga digambarkan sebagai pencetus bencana. Beberapa orang percaya bahwa Tuhan bertanggung jawab atas semua bencana alam, penyakit, atau hal-hal yang berkaitan dengan penderitaan manusia.
Orang-orang kemudian memiliki prasangka bahwa Tuhan sengaja menyebabkan penderitaan kepada hambanya.
Pandangan-pandangan seperti ini adalah pandangan yang salah dan harus dihilangkan dari setiap jiwa manusia. Karena berprasangka buruk seperti ini, akan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan mental dan emosional.
Prasangka buruk hanya akan menyebabkan rasa ketidakpuasan, kekecewaan dan ketidakbahagiaan yang menyebabkan orang menjadi stres, cemas dan depresi.
Rasulullah SAW dalam sabdanya pernah menjelaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ
Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Jika berprasangka buruk, maka ia mendapatkan keburukan.” (HR. Ahmad) [2]
Penjelasan Hadis Tentang Larangan Berburuk Sangka
Dari hadis tersebut sudah sangat jelas memiliki maksud agar seorang hamba selalu mengedepankan prasangka baik. Allah SWT akan memperlakukan manusia sesuai dengan prasangka dari manusia itu sendiri terhadap-Nya.
Jika yang ada dalam benak manusia adalah hal-hal yang baik kepada Allah, maka hal-hal yang didapat olehnya adalah hal-hal yang baik. Akan tetapi jika yang ada dalam benaknya adalah tentang suatu hal yang buruk, maka keburukan-keburukan tersebut akan selalu menyertai dalam hidupnya.
Agama Islam sendiri sangat menekankan bagaimana pentingnya untuk bersikap husnudzon dan sangat melarang keras orang-orang untuk bersikap suudzon.
Imam al-Ghazâli menyampaikan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin agar seseorang menjauhi prasangka maupun tuduhan-tuduhan yang buruk. Karena orang yang memiliki perangai buruk, pasti akan memunculkan keburukan-keburukan. Ia tidak akan berprasangka baik terhadap manusia sama sekali.
Jika kita melihat orang berprasangka buruk terhadap orang lain dengan mencari-cari kesalahannya, ketahuilah bahwa ia memiliki sifat yang buruk dalam hatinya dan sifat buruk tersebut terpancar pada orang tersebut. Ia hanya melihat keburukan orang lain dari sudut pandangnya sendiri.[3]
Penutup
Bagi seorang Mukmin, tidak pantas untuk memiliki sifat tersebut. Karena seorang Mukmin akan selalu memiliki alasan untuk memaafkan, bukan justru mencari-cari kesalahan orang lain.
Sementara orang Munafik, akan selalu mencari-cari kesalahan. Orang Munafik memiliki hati yang kotor. Sedang seorang Mukmin, memiliki hati yang bersih terhadap semua makhluk.[4]
Maka dari itu, jika seseorang ingin dianggap sebagai Mukmin yang sempurna, maka sebaiknya bagi mereka untuk menerapkan sikap husnudzon, bukan sikap suudzon. Karena al-qur’an dan hadis telah memerintahkan untuk berbuat demikian.
Referensi
[1] Abu Hamid al-Ghazâli, Ihya ‘Ulumuddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt) 36/III
ومن أبوابه سوء الظن بالمسلمين قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إثم} فمن يحكم بشر على غيره بالظن بعثه الشيطان على أن يطول فيه اللسان بالغيبة فيهلك أو يقصر في القيام بحقوقه أو يتوانى في إكرامه وينظر إليه بعين الاحتقار ويرى نفسه خيراً منه وكل ذلك من المهلكات ولأجل ذلك منع الشرع من التعرض للتهم
[2] Abû ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal (tk. Muassasah ar-Risâlah: 2001)
[3] Abu Hamid al-Ghazâli, Ihya ‘Ulumuddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt) 36/III
فيجب الاحتراز عن ظن السوء وعن تهمة الأشرار فإن الأشرار لا يظنون بالناس كلهم إلا الشر فمهما رأيت إنساناً يسيء الظن بالناس طالباً للعيوب فاعلم أنه خبيث الباطن وأن ذلك خبثه يترشح منه وإنما رأى غيره من حيث هو فإن المؤمن يطلب المعاذير والمنافق يطلب العيوب والمؤمن سليم الصدر في حق كافة الخلق
[4] Ibid.