Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kajian Aswaja · 6 Sep 2023 08:00 WIB ·

Menjalin Keharmonisan dengan Bersikap Husnuzan Kepada Manusia


 pexels.com Perbesar

pexels.com

Pernahkan Anda berfikir tentang bagaimana dampak bersikap husnuzan kepada manusia? Tentang bagaimana agama memandang hukum husnuzan kepada sesama? Dan kenapa kita disuruh untuk bersikap demikian?

Tulisan berikut ini akan menjelaskan tentang pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan di atas. Untuk lebih lanjutnya, mari sama-sama kita Simak uraiannya berikut.

Hukum Bersikap Husnuzan Kepada Manusia

hukum husnuzan kepada manusia

Pexels.com

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita berinteraksi dengan berbagai macam orang yang memiliki latar belakang, keyakinan, dan pengalaman yang berbeda. Dalam situasi seperti itu, husnuzan kepada manusia sangat hukumnya sunah.[1]

Di samping itu, Allah menyuruh kita untuk senantiasa memiliki sikap husnudzon kepada sesama.[2] Karena husnuzan mengajarkan kita untuk memberikan orang lain kesempatan membuktikan diri dan tidak terjebak dalam prasangka negatif yang tidak berdasar.

Husnuzan kepada manusia menjadi konsep penting dalam Islam yang mengajarkan kita untuk memiliki sikap positif, memberikan asumsi yang baik atas tindakan orang lain.

Keadaan ini yang menjadikan seseorang dapat menahan diri dari menghakimi atau mencurigai hal-hal negatif terhadap orang lain tanpa bukti yang jelas.

Dalam salah satu argumen Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan: “Barangsiapa yang menghukumi seseorang berdasarkan prasangka tanpa bukti, maka setanlah yang menghasutnya untuk merendahkan dan tidak memenuhi hak-haknya, serta lambat dalam menghormatinya. Dan semua ini adalah perbuatan yang menghancurkan seseorang.”[3]

Menghindari Bersikap Skeptis atau Mencurigai Orang Lain Secara Tidak Adil

Husnuzan kepada manusia

pexels.com

Husnuzan kepada manusia yaitu mengakui bahwa setiap individu adalah makhluk Allah yang memiliki potensi baik. Kita tidak memiliki akses langsung ke dalam hati dan niat orang lain, sehingga kita harus menghindari bersikap skeptis atau mencurigai orang lain secara tidak adil.

Penting juga untuk memberikan orang lain kesempatan dalam menjelaskan niat mereka, berkomunikasi dengan baik, dan memahami perspektif mereka. Mungkin ada situasi di mana tindakan atau perkataan seseorang dapat disalahartikan atau diinterpretasikan dengan cara yang negatif.

Dalam hal ini, husnuzan mengajarkan kita untuk mencari klarifikasi dengan cara yang baik dan terbuka, daripada langsung membuat kesimpulan yang negatif.

Sahabat Umar telah memberikan petuah kepada umat Muslim agar tidak langsung menarik kesimpulan negatif terhadap perkataan maupun perbuatan buruk seseorang.

قال عمر بن الخطاب: – رضي الله عنه – لا يحل لامرئ مسلم يسمع من أخيه كلمة يظن بها سوءا وهو يجد لها في شيء من الخير مخرجا. وقال أيضا: لا ينتفع بنفسه من لا ينتفع بظنه.

Dari Umar bin Khattab RA berkata: “Tidak seharusnya bagi seorang Muslim untuk segera menarik kesimpulan negatif saat mendengar perkataan dari saudaranya, karena mungkin ada jalan keluar yang baik dari perkataan tersebut.”[4]

Sebagaian ulama lain juga mengatakan bahwa seseorang tidak akan bisa mengambil manfaat pada dirinya, jika ia tidak bisa mengambil manfaat dari prasangkanya[5].

Sehingga menjadi jelas bahwa dengan memiliki sikap husnuzan kepada sesama, menjadikan seseorang memiliki dampak yang baik baginya, maupun bagi orang lain.

Husnuzan Kepada Manusia dengan Saling Menghormati

Husnuzan kepada manusia

unplash.com

Husnuzan kepada manusia juga melibatkan memperlakukan orang lain dengan hormat, kesopanan, dan kebaikan. Termasuk memberikan bantuan, mendengarkan dengan empati, dan menyambut orang lain dengan senyuman dan kebaikan.

Rasulullah sendiri menekankan tentang pentingnya mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Salah satu sifat yang melekat pada seseorang adalah ia akan menginginkan  agar diberikan rasa hormat, kasih sayang, bantuan dan segala kebaikan dari orang lain.

Begitu juga orang lain, mereka juga menginginkan agar diberikan penghormatan yang serupa. Salah satu caranya adalah dengan selalu memandang baik orang lain, maka perilaku kita juga akan mencerminkan kebaikan-kebaikan kepada orang lain.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dari Anas, dari Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah kamu beriman (secara sempurna), sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.”[6]

Sikap saling mencintai dan menghargai ini adalah bagian integral dari husnuzan kepada manusia.

Di sini, ingin menekankan bahwa husnuzan kepada manusia merupakan konsep penting dalam agama Islam yang mengajarkan seseorang untuk memiliki sikap positif dan memberikan asumsi yang baik.

Dengan menerapkan husnuzan, seseorang dapat menciptakan hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Di samping itu, husnuzan dapat memberikan ruang kepada orang lain untuk membuktikan diri, mencari klarifikasi, memaafkan, dan memperlakukan orang lain dengan hormat santun.

Referensi:

[1] Muhammad al-Khodimi, Bariqoh Mahmudiyyah (tk: Mathba’ah al-Khalabi, tt), 300/II.
حُسْنُ الظَّنِّ بِالْمُؤْمِنِينَ (فَمَنْدُوبٌ إلَيْهِ فِيمَا يُشَكُّ فِيهِ مِنْ أَمْرِهِمْ) مِنْ الْفَسَادِ وَالصَّلَاحِ
[2] Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Bathal (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 2003), 216/IX.
وقد أوجب الله تعالى أن يكون ظن المؤمن بالمؤمن حسنًا أبدًا إذ يقول: لولا إذ سمعتموه ظن المؤمنون والمؤمنات بأنفسهم خيرًا فإذا جعل الله سوء الظن بالمؤمنين إفكا مبينًا فقد الزم أن يكون حسن الظن بهم صدقًا بينًا والله الموفق.
[3] Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawajir ‘an Iqtirof al-Kabair (tk. Dar al-Fikr, 1987), 143/I
وَمَنْ حَكَمَ بِشَرٍّ عَلَى غَيْرِهِ بِمُجَرَّدِ الظَّنِّ حَمَلَهُ الشَّيْطَانُ عَلَى احْتِقَارِهِ وَعَدَمِ الْقِيَامِ بِحُقُوقِهِ وَالْتَوَانِي فِي إكْرَامِهِ، وَإِطَالَةِ اللِّسَانِ فِي عِرْضِهِ وَكُلُّ هَذِهِ مُهْلِكَاتٌ
[4] Muhammad Muflih, Al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah (tk. ‘Alam al-Kutub, tt), 47/I.
[5] Ibit.
وقال أيضا: لا ينتفع بنفسه من لا ينتفع بظنه
[6] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (tk. Dar Thuq an-Najah, 1442), 12/I.

Artikel ini telah dibaca 22 kali

Baca Lainnya

Larangan Memutus Silaturahmi Bagi yang Masih Hidup dan Mati

13 September 2023 - 08:00 WIB

larangan memutus silaturahmi

Hadits Keutamaan Silaturahmi dalam Islam Beserta Penjelasannya

11 September 2023 - 12:17 WIB

Keutamaan silaturahmi dalam Islam

Hukum Menjaga Silaturahmi Kepada Keluarga & Keistimewaannya

11 September 2023 - 08:00 WIB

menjaga silaturahmi

Bentuk Indahnya Silaturahmi dengan Keluarga dan Sesama

11 September 2023 - 08:00 WIB

menjaga silaturahmi

Hadits Menyambung Silaturahmi Adalah Puncak Keutamaan

9 September 2023 - 12:17 WIB

hadits menyambung silaturahmi

Hadits Larangan Marah Lebih dari 3 Hari

9 September 2023 - 08:00 WIB

hadits larangan marah
Trending di Kajian Aswaja