Pada kesempatan kali ini, meja redaksi Duta Damai Santri Jawa Timur akan membahas tentang bagaimana hukum menjual belatung untuk pakan. Simak ulasannya baik-baik ya..
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Admin, saya ingin bertanya, bagaimana hukum menjual belatung untuk pakan burung? Kami berharap mendapatkan pencerahan dari Admin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
[Musthofa, Purwodadi]
Admin – Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Terimakasih sudah mau bertanya kepada kami.
Dalam Islam, menjual atau memperjualbelikan belatung sebagai pakan atau barang dagangan umumnya tidak dianjurkan. Hal ini karena belatung termasuk ke dalam jenis serangga yang umumnya dianggap menjijikkan dan tidak layak dikonsumsi oleh manusia.
Sebagaimmana ketidaklayakan untuk mengonsumsi makanan tersebut, terdapat dalil ulama yang mengatakan:
لا خطاف ونمل ونحل وذباب وحشرات كخنفساء ودود
“Tidak halal mengonsumsi burung walet, semut, lebah, lalat dan serangga seperti kumbang dan ulat.”[1]
Jika dilihat dari asas jual beli jasa antara penjual dan pembeli, maka transaksi hewan yang menjijikan ini tidak masalah. Maksudnya bagi orang yang membutuhkan belatung untuk dijadikan pakan burung, memberikan upah kepada pemilik belatung karena telah sudi mengumpulkan dan menernakan belatung tersebut.
Namun fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak seperti itu. Orang yang membeli secara sadar berniat untuk membeli, bukan menyerahkan uang dengan niat untuk ongkos jasa. Bagitu juga penjualnya, yang menganggap belatung tersebut sebagai mata pencaharian.
Lalu bagaimana pandangan agama mengenai hal ini?
Pandangan Agama Jual Beli Belatung
Terjadi perbedaan pandangan di antara para ulama. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak diperbolehkan karena tidak ada manfaat yang dilegalkan oleh syariat.
فلا يصح بيع حشرات لا تنفع
Tidak dibenarkan, penjualan serangga yang tidak memiliki manfaat.[2]
Sedangkan menurut ulama lain seperti dalam madzhab Malikiyah, tetap diperbolehkan. Karena menurutnya, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT terdapat kemanfaatan bagi manusia.
ويصح بيع الحشرات والهوام كالحيات والعقارب اذا كان ينتفع به والضابط عندهم (المالكية) ان كل ما فيه منفعة تحل شرعا لان الاعيان خلقت لمنفعة الانسان بدليل قوله تعالى هو الذي خلق لكم ما في الارض جميعا.
“Penjualan serangga dan binatang seperti ular dan kalajengking adalah sah jika memberikan manfaat. Aturan madzhab Maliki memiliki pandangan bahwa segala sesuatu yang memiliki manfaat dihukumi halal menurut syariat. Karena objek-objek diciptakan untuk kemanfaatan manusia, dengan bukti dari firman-Nya yang berbunyi: ‘Dia-lah yang menciptakan untuk kalian, segala sesatu yang ada di bumi.”[3]
Begitu pula dalam pandanagn Madzhab Hanafiyah yang memperbolehkan penjualan belatung ini. Dengan alasan, ketika barang tersebut memiliki kemanfaatan, maka diperbolehkan oleh syariat.
وَكَذلِكَ يَصِحُّ بَيْعُ الْحَشَرَاتِ وَالْهَوَامِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ إِذَا كَانَ يُنْتَفَعُ بِهَا. وَالضَّابِطُ في ذلِكَ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ
“Dan begitu pula sah jual beli serangga dan binatang melata, seperti ular dan kelajengking ketika bermanfaat. Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) dalam hal itu adalah semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjualbelikannya. Sebab, semua benda itu diciptakan untuk kemanfaatan manusia.”[4]
Penulis: Afdhol Singgih
Dari: Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Seblak Jombang
[1] Abu Zakariya an-Nawawi, Minhaj at-Tholibibin wa Umdah al-Muftin, (CD: Maktabah Syamela), 420.
[2] Abu Yahya Zakariya al-Anshori, Bujairami ‘ala al-Minhaj, (CD: Maktabah Syamela), 178/II.
[3] Wahbah az-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (CD: Maktabah Syamela), 446/IV.
[4] Abdurrahman al-Juzairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 382/I.