Oleh: Mutawakkil
Hukum Islam tidak mengharamkan interaksi sosial dengan non-Muslim. Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menjalin hubungan baik dengan siapa saja, termasuk menerima pemberian, selama tidak bertentangan dengan syariat.
Hal ini diangkat dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8 berikut ini:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” (Surat Al-Mumtahanah ayat 8).
Dalam tafsirnya, Ibnu Bathal, seorang ulama Mazhab Maliki, mengaitkan Surat Al-Mumtahanah ayat 8 dengan hukum menerima hadiah dari orang musyrik.
Beliau merujuk pada riwayat Ibnu Jarir At-Thabari yang menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan kasus ibu Asma binti Abu Bakar.
Ibnu Bathal menyebutkan bahwa wanita yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Qatilah binti Abdul Aziz. Beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kelompok musyrik Makkah yang tidak terlibat dalam peperangan melawan orang-orang beriman.(Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, juz VII, halaman 136).
Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menerima hadiah dari non-Muslim sebagaimana riwayat sahabat Anas bin Malik berikut ini: وقال سعيد عن قتادة عن أنس إن أكيدر دومة أهدى إلى النبي صلى الله عليه وسلم Artinya, “Said berkata, dari Qatadah dari Anas ra, sungguh Ukaidir Dumah pernah memberikan hadiah kepada Nabi saw”. (HR. Bukhari).
Berdasarkan riwayat Imam Bukhari, praktik pemberian dan penerimaan hadiah antara Muslim dan non-Muslim telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Salah satu contohnya adalah ketika beliau menerima hadiah seekor keledai putih dari Raja Ilah.
Sebagai bentuk balasan, Rasulullah SAW menganugerahkan burdah kepada raja tersebut. Selain itu, beliau juga pernah menerima hadiah berupa jubah sutra dari Ukaidir Dumah, seorang tokoh Kristen. Beliau pernah juga menerima hadiah budak perempuan dari Raja Muqauqis. Nabi Muhammad SAW menerima hadiah budak perempuan.
Dari berbagai riwayat, terutama hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, para ulama Islam menyimpulkan bahwa hukum menerima dan memberi hadiah antara Muslim dan non-Muslim adalah mubah. Salah satu contoh konkret adalah ketika Rasulullah SAW memberikan izin kepada Asma binti Abu Bakar untuk menerima pemberian dari ibunya yang pada saat itu masih beragama selain Islam.
Berikut ini riwayat Bukhari: حدثنا عبيد بن إسماعيل حدثنا أبو أسامة عن هشام عن أبيه عن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنهما قالت قدمت علي أمي وهي مشركة في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستفتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت وهي راغبة أفأصل أمي قال نعم صلي أمك
Artinya, “Dari Asma binti Abu Bakar RA, ia bercerita, ‘Ibuku memberiku sebuah hadiah. Sedangkan ia seorang wanita musyrik di masa Rasulullah. Lalu aku meminta fatwa Rasulullah. Kubilang, ‘Ibuku ingin (menyambung silaturahmi. Lain riwayat ‘raghimah’ yang berarti benci [kepada Islam]). Apakah aku harus menyambung silaturahmi dengannya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, sambunglah tali dengan ibuku,’’” (HR Bukhari).
Imam An-Nawawi menjelaskan sedikit perihal keislaman Qatilah. Ia mengangkat perbedaan pandangan ulama perihal keislaman Qatilah yang tidak lain adalah ibu dari sahabat Asma binti Abu Bakar. واختلف العلماء في أنها أسلمت أم ماتت على كفرها والأكثرون على موتها مشركة
Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal keislaman ibu Asma (Qatilah). Apakah ia wafat dalam keadaan Islam atau kufur? Kebanyakan ulama menyatakan bahwa ia wafat dalam keadaan,” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, [Beirut, Daru Ihyait Turats Al-Arabi: 1392 H], juz VII, halaman 68).
Jadi dapat ditarik benang merah, bahwa menerima pemberian dari non muslim itu, tidak ada larangan selagi bisa memberikan rasa nyaman dan rasa harmonis dalam meyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia.