Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Tanya Jawab · 5 Jun 2023 00:00 WIB ·

Hukum Membayar Orang Dalam


 Hukum Membayar Orang Dalam Perbesar

Assalmu’alaikum Wr. Wb.

Admin, saya ingin bertanya tentang bagaimana hukum membayar calo atau orang dalam agar udah ketika akan masuk kerja? Sebelum dijelaskan jawabannya, kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

[Anisa Faiqotul Jannah, Palembang]

___

Admin – Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Masuk ke dalam dunia kerja untuk saat ini bisa dibilang susah, karena banyak kompetitor yang bersaing di dalamnya. Sehingga, biasanya seseorang membutuhkan orang dalam ketika akan memasukinya. Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi, bantuan, atau akses yang tidak mudah didapatkan secara umum. Beberapa alasan mengapa seseorang membutuhkan orang dalam di antaranya:

Pertama, orang dalam dapat memberikan informasi rahasia atau penting tentang perusahaan, misalnya tentang kebijakan, strategi, atau rencana perusahaan. Hal ini dapat memberikan keuntungan kompetitif atau memungkinkan seseorang untuk mengambil keputusan yang lebih baik.

Yang kedua, orang dalam dapat membantu seseorang memperoleh atau memajukan posisi pekerjaan. Mereka dapat memberikan rekomendasi atau pengarahan tentang peluang karier yang mungkin tidak diketahui secara umum.

Pembahasan dalam Ranah Fikih

Dalam kajian agama, membayar orang ketika akan masuk ke dunia kerja diperbolehkan, dengan syarat ia dapat bekerja sesuai dengan penempatan yang telah ditentukan, dan dia dapat melaksanakan pekerjaannya di sana. Namun, apabila orang tersebut tidak bekerja sesuai dengan tugasnya, maka akan berkonsekuensi dengan gaji yang diterimanya, yaitu haram.

Sedangkan untuk hukum suapnya sendiri, jika yang memberikan suap itu adalah orang yang berhak untuk bekerja di sana, tidak menyakiti atau merugikan sesama Muslim, maka hal itu diperbolehkan. Akan tetapi bagi orang yang menerima suap tersebut hukumnya haram.

Sebaliknya, jika memberikan suap hanya semata-mata agar ia diterima hajatnya untuk dapat bekerja di sana, padahal dia bukan ahlinya (tidak bisa bekerja dalam ranah tersebut), maka hal itu bisa dikategorikan sebagai risywah (suap), di mana orang yang memberi maupun yang menerima hadiah hukumnya haram.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Is’ad ar-Rofiq:

(وأخذ الرشوة ) ولوبحق (واعطاؤها) بباطل – الى ان قال – فمن اعطى قاضيا أو حاكما رشوة أو أهدى اليه هدية فان كان ليحكم له بباطل أو ليتوصل بها لنيل مالا يستحقه أو لأذية مسلم فسق الراشى والمهدى بالإعطاء والمرتشى والمهدى إليه بالاخذ والرائس بالسعي

“Barang siapa yang memberikan suap kepada seorang qodhi, atau hakim atau memberikan hadiah kepadanya, jika itu bertujuan agar dia memutuskan sesuatu secara tidak benar, atau untuk memperoleh sesuatu yang tidak pantas dia dapatkan, atau untuk membahayakan seorang Muslim, maka orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap sama-sama berdosa. Sama halnya orang yang memberikan hadiah dan orang yang menerima hadiah dalam pertukaran yang tidak sah. Begitu juga orang yang mengambil imbalan dan orang yang memberikan imbalan dalam upaya tersebut.”[1]

وان لم يقع حكم منه بعد ذلك أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الآخذ فقط ولم يأثم المعطى لاضطراره للتوصل لحق بأي طريق كانقضاءه إنما نفذ للضرورة

“Namun, jika keputusan yang diambil oleh hakim tersebut tidak terjadi setelah itu, atau jika dia memutuskan sesuatu dengan adil, atau untuk menolak kezaliman, atau untuk mendapatkan apa yang dia pantas dapatkan, maka yang berdosa hanyalah pihak yang menerima suap, sedangkan pihak yang memberikan suap tidak berdosa karena dia terpaksa melakukan itu untuk memperoleh haknya dengan cara apapun. Hal ini hanya dilakukan karena keadaan darurat.”[2]

Namun, perlu diingat bahwa memanfaatkan orang dalam atau melibatkan praktik yang tidak etis atau ilegal dapat memiliki konsekuensi serius, termasuk pemecatan, tuntutan hukum, atau kerugian reputasi. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan etika dan konsekuensi jangka panjang sebelum memutuskan untuk menggunakan orang dalam dalam situasi apa pun.

Baca juga: Hukum Memakan Daging Kurban Sendiri
Tonton juga: PRASANGKA | Short Film Of Grup Taks 2 Duta Damai Santri Jawa Timur.


[1] Muhammad bin Salim, Is’ad ar-Rofiq (_____) 100/II
[2] Ibit.

Hukum Membayar Orang Dalam
Hukum Membayar Orang Dalam

Artikel ini telah dibaca 10 kali

Baca Lainnya

Ustadz Menerima Zakat?

9 April 2024 - 16:21 WIB

Kesalahan Regulasi BAZNAS dalam Penerapan Zakat Profesi

5 April 2024 - 13:07 WIB

Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan?

21 Maret 2024 - 16:15 WIB

macam-macam darah wanita

Keramas Biar Fresh Ketika Puasa, Bolehkah?

17 Maret 2024 - 09:39 WIB

Kenapa Bulan Ramadan Tidak Termasuk Empat Bulan Hurum?

17 Maret 2024 - 09:34 WIB

Gusi Berdarah Bisa Membatalkan Puasa?

17 Maret 2024 - 09:29 WIB

Trending di Tanya Jawab