Oleh: Faizal Amin
Disaat puasa memang banyak yang harus dijaga, selain menjaga dari dari perbuatan maksiat atau menjaga hati dari sifat-sifat buruk yang bisa merusak pahala puasa yang tak kalah penting adalah jauh dari perkara yang dapat membatalkan puasa, yang salah satunya ialah menelan sesuatu saat menjalankannya.
Dalam hal ini yang sering terjadi ialah menelan ludah yang bercampur dengan darah yang keluar dari gusi kita. Timbul problem apakah menelan ludah yang bercampur dengan darah yang keluar dari gusi membatalkan puasa, dan bagaimana jika darah itu selalu keluar?
Pada dasarnya menelan ludah saat berpuasa tidak membatalkan, selama memang ludah yang ditelan masih murni karena hal itu merupakan sebuah kebutuhan, bahkan mengumpulkan ludah dalam mulut kemudian menalannya itu juga tidak membatalkan, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakariya al-Anshari
لو ابتلع ريقه الصرف لم يفطر ولو بعد جمعه
Jika seseorang menelan air liurnya yang masih murni maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya, meskipun air liurnya ia kumpulkan (menjadi banyak).
Namun berbeda ketika bercampur dengan darah yang ada di gusi, maka menalannya membatalkan puasa yang kita jalani.
ويفطر به إن تنجس) كمن دميت لثته أو أكل شيئا نجسا ولم يغسل فمه حتى أصبح وإن ابيض ريقه وكذا لو اختلط بطاهر آخر – كمن فتل خيطا مصبوغا تغير به ريقه
“ Dan menelan air liur dapat membatalkan puasa ketika air liurnya terkena najis, seperti seseorang yang gusinya berdarah, atau ia mengonsumsi sesuatu yang najis dan mulutnya tidak ia basuh sampai masuk waktu subuh. Bahkan meskipun air liur (yang terkena najis) warnanya masih bening. Begitu juga (puasa menjadi batal ketika menelan) air liur yang bercampur dengan perkara suci yang lain, seperti orang yang membasahi dengan air liur pada benang jahit yang ditenun, lalu air liurnya berubah warna”[1]
Namun berbeda ketika memang ada masalah dengan gusi, seperti gusi yang selalu mengalirkan darah yang sekiranya terus mengalir lebih sering dengan tidak mengalirnya, maka kejadian seperti ini diampuni dan menelannya tidak membatalkan puasa yang ia jalankan.
(قوله كمن دميت لثته) قال الأذرعي لا يبعد أن يقال من عمت بلواه بدم لثته بحيث يجري دائما أو غالبا أنه يتسامح بما يشق الاحتراز عنه ويكفي بصقه الدم ويعفى عن أثره ولا سبيل إلى تكليفه غسله جميع نهاره إذا الفرض أنه يجري دائما أو يترشح وربما إذا غسله زاد جريانه
Kesimpulan yang sama juga dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj: “Imam al-Adzra’i berkata: “tidak jauh untuk diucapkan bahwa seseorang yang sering dikenai cobaan berupa gusi berdarah yang terus mengalir atau pada umumnya waktu (puasa) maka ditoleransi (ma’fu) kadar (darah gusi) yang sulit untuk dihindari, cukup baginya untuk membuang darah tersebut dan di hukumi ma’fu bekas darah yang tersisa. (sebab) tidak ada jalan untuk menuntutnya agar membasuh darah ini pada seluruh waktu siang, sebab kenyataannya darah ini terus-menerus mengalir atau meresap, dan terkadang ketika dibasuh justru darah gusi semakin bertambah mengalir[2]
[1] (Syekh Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Juz 5, Hal. 305)
[2] ibid