Menjaga keutuhan NKRI merupakan keharusan bagi tiap individu sebagai bentuk perwujudan nasionalisme. Pada hakikatnya eksistensi Negara kesatuan Republik Indonesia adalah perwujudan perjanjian kebangsaan (Al- Mitsaq Al-Wathan) yang berisi kesepakatan bersama (Al-Muhadah Al-Jam’iyah) bangsa indonesia yang ditempuh melalui perjuangan panjang bangsa ini.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) secara eksplisit mengatur kewajiban warga negara Indonesia (WNI) untuk ikut serta dalam upaya bela negara. Hal itu tertuang dalam pasal 27 ayat 3 UUD NRI 1945 yang berbunyi,“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Oleh karenanya bela negara menjadi hal yang tidak dapat tidak dillakukan oleh semua elemen negri ini.
Lantas bagaimanakah posisi bela negara sendiri dalam pandangan islam? Apakah ada kaitan antara bela negara dengan jihad fi sabilillah?
Sebelum kita membahasnya kita harus tau apa makna jihad itu sendiri. Jihad berasal dari kata jahada yang berarti bersungguh sungguh, sedangkan secara istilah jihad bermakna “berusaha sungguh-sungguh dengan mengerahkan segenap kemampuan.” Dalam makna yang lebih luas jihad mempunyai pengertian menanggulangi musuh yang tampak, setan, dan hawa nafsu. Sebagaimana tercermin dalam firman allah :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ
Artinya : “Berjuanglah kalian dijalan Allah dengan perjuangan yang sebenar-benarnya”. (QS : Al-Hajj : 78).
Jihad disini bermakna luas, yakni bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam melakukan kebaikan, baik dimanifestasikan dengan hati, pikiran maupun perbuatan. Dalam Islam, kewajiban berjihad hanyalah dalam tataran perantara (wasilah) dengan tujuan utama menjaga dan menegakkan ajaran Tuhan dengan cara-cara yang diridhai Tuhan. Yaitu sesuai dengan nilai-nilai yang diajarakan oleh Rasul dan juga nilai yang tertulis dalam al-Qur’an. Bukan justru bertentangan.
Maka jihad dapat dimaknai sebagai usaha secara sungguh-sungguh dijalan allah sesuai syari’at islam. Dari sinilah muncul tujuan syariah (Maqosid Asy-Syariah) yang dikenal dengan istilah al-kulliyat al-khamsah. Lima pokok tujuan syariahyang meliputi : menjaga agama (hifdz din), menjaga jiwa (hifdz nafs), menjaga akal (hifdz aql), menjaga keturunan (hifdz nasl) dan menjaga harta (hifd nasl).
ومقاصد الشارع في خلقه تنحصر في حفظ خمسة أمور : الدين ، النفس ، العقل ، النسل ، المال . فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة ، وكل ما يفوت هذه الأصول أو بعضها فهو مفسدة.
Tujuan syariat dibuat sebagai sarana memelihara lima perkara: menjaga agama, jiwa, pikiran, keturunan, dan harta. Segala sesuatu yang bersinggungan dalam menjaga lima prinsip ini adalah kemaslahatan. Dan segala sesuatu yang hilang dari prinsip ini atau sebagian, maka hal tersebut merupakan kerusakan.[1]
Sedangkan tujuan syariah (Maqosid Asy-Syariah) sendiri tidak akan bisa diwujudkan tanpa keutuhan negara. Maka bela negara adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar lagi.
[1] Abdullah bin Bayyah, Tambih al-Muraji’, (Bairut: Dar at-Tajdid, 2014), 1.