Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).[1]
Secara teoritis, politik meliputi keseluruhan azas dan ciri khas dari negara tanpa membahas aktivitas dan tujuan yang akan dicapai negara. Sedangkan secara praktis, politik mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu (negara sebagai lembaga yang dinamis).[2]
Definisi politik tidak terbatas jangkauannya. Para ahli pikir berapi-api beradu argumen dengan para pemikir lain untuk menentukan penafsiran yang paling tepat tentang tafsir kenegaraan. Pemaknaan paling dekat dalam hal ini bisa dirumuskan; “seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non-konstitusional.”[3]
Kekuasaan yang diraih melalui ketentuan ketatanegaraan atau kesepakatan bersama, diharapkan menjadi sebuah jalan dapat meraih kemaslahatan, yang bisa dinikmati oleh seluruh warga dalam lingkungannya.
Baca juga: Politik, Peranan yang Harus Diperjuangkan Kaum Pesantren
Relasi Agama dan Politik
Islam, sebagai agama merupakan inspirasi bagi pemeluknya yang mewarnai gerak langkah kehidupanya. Tak terkecuali politik. Syari’at Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa misalnya, tergambar dalam tatanan syari’at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqh siyasah.[4]
Politik menjadi penting di dalam pembahasan agama bukan karena ‘diri’ politik itu sendiri (lidzatiha), akan tetapi ia menjadi sebab fungsinya sebagai wasilah terhadap implementasi agama itu sendiri.
Dalam spektrum kecil, hal ini bisa kita tilik dalam masalah wali nikah. Ketika wali nikah dari perempuan tak ada, maka perpindahan kewenangannya dilimpahkan pada wali hakim yang tak lain diangkat oleh negara melewati dinamika perpolitikan.
Dalam tataran luas, proses politik merupakan wasilah tegaknya suatu negara. Sedang agama mempunyai relasi yang tak terpisahkan dengan negara yang dihasilkan dari dinamika berpolitik tersebut. Sebagaimana digambarkan dengan apik oleh Hujjatul Islam al-Ghazali dalam masterpiece-nya Ihya’ Ulumuddin :
وَالْمَلَكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ والسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسُ لَهُ فَضَائِعٌ
“Negara dan agama adalah saudara kembar, agama adalah pondasi, sedang negara adalah penjaga. Sesuatu yang tak berpondasi akan roboh dan sesuatu tanpa penjaga akan sia-sia”[5]
Frasa والسلطان حارس dapat diartikan bahwa negara bertugas menjaga dan menjamin terpeliharanya agama masyarakat. Menegakkan perintah dan larangan agama secara optimal, perlu keterlibatan negara. Sedangkan فالدين أصل bisa dipahami bahwa agama merupakan substansi yang mendasari kebijakan pemerintahan—suatu negara—tanpa harus dilegal-formalistikkan. Pemikiran ini menemui relevansinya dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagaimana kita tilik dari pernyataan Ibnu Aqil al-Hambali :
السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ
“Politik adalah segala hal yang dengannya dapat lebih mendekatkan masyarakat kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kerusakan, sekalipun Rasulullah tidak pernah mencontohkanya dan tidak pula ada wahyu yang menjelaskannya.”[6]
Tonton juga: JIHAD SANTRI MASA KINI | short movie grup taks 1 duta damai santir jawa timur
[1] _______, Definisi Politik, Definisimu,
[2] Ibid.
[3] wikipedia_id_top_maxi_2019-08. Zim. Kata kunci: Politik
[4] K.H. MA Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Surabaya: LKIS, Cet. VII, 2011), Hlm. 212.
[5] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin,(Beirut: Darul Ma’rifat, tt), Vol. I, Hlm. 7.
[6] Ibnu Qayyim al-Jauzi, I’lam al-Muwaqqi’ien, (Bairut: Daarul Jail, 1973), Vol. IV, Hlm. 372.