Oleh: Muhammed Naveed Akbar
Pada media massa, entah harus berapa kali kita terus menemukan gambar seorang pemerintah—atau bukan, terpidana; berjas oranye bertuliskan: Tahanan KPK. Dengan begitu kita merasa kecewa pada penerus bangsa yang kenyataannya busuk. Pernahkah kita berpikir bahwa, Indonesia mendapat kemerdekaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Atau bertanya-tanya sekaligus marah-marah tak jelas entah kepada siapa, Kau kira negeri ini milik bapak kau, HA?! Saya yakin, hampir setiap diantara kita pernah mengatakan hal serupa.
Tapi pernahkah kita menyadari bahwa, terkadang kita sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki negeri ini. Atau, terkadang kita bersikap bodo amat, sebab alasan; sudah ada yang mengurusinya toh, atau mau gimana lagi?
Dari perihal korupsi saja—di Indonesia khususnya, sudah hampir menjadi budaya yang mengakar dan seakan tak bisa hilang, atau setidaknya berkurang. Jika kita amati dengan cermat, hampir setiap bulan, atau minggu, kasus korupsi di Indonesia bermunculan. Lalu, di mana rasa Nasionalisme kita? Tertinggal-kah? Atau, memang sudah lenyap?
Mungkin bagi kebanyakan orang, hal berbau korupsi sudah menjadi hal biasa—atau sesuatu yang terpaksa dibiasa-biasakan? Namun, haruskah kita terus diam bergeming dengan keterbiasaan yang tak biasa, bagi kebanyakan orang lainnya? Apakah hal sekeji itu akan terus kita biarkan? Atau akan terus membutakan pandangan—mengaburkan kenyataan seolah tak terjadi apa-apa?
Baru-baru ini, sebuah slogan; Menuju Indonesia emas 2045, kerap kita temukan di media massa. Tapi kapan Indonesia kita akan menjadi negeri emas, jika hal korupsi saja kita sudah tak mampu menanganinya. Malahan, yang lebih miris lagi adalah seakan korupsi adalah bahan permainan. Hampir pada setiap berbagai lapisan masyarakat di Indonesia terjerat kasus korupsi. Contoh kecil yang acap kali kita temui pada; tingkat Kades.
Pada diri kita—masyarakat Indonesia, ada sesuatu yang hampir menghilang, namun kita tak pernah menyadarinya: Sikap Nasionalis. Tanpa sadar, kita masih menjadi budak di tanah kita sendiri. Contoh kecilnya adalah pengelolaan SDA yang sangat beragam, namun di tangan orang.
Mayoritas Investor suatu perusahaan besar, yang memanfaatkan SDA Indonesia, adalah orang-orang asing. Seperti PT. Freeport Indonesia, sebagian besar pemegang sahamnya adalah Amerika Serikat, dan sisa-nya adalah kita.
Karenanya, sudah seharusnya kita menyadari bahwa, negara-bangsa ini adalah benar-benar milik kita.
Jika negara ini masih belum menyadari hal tersebut, saya yakin, Indonesia tak akan benar-benar meraih emasnya di tahun 2045. Dan alhasil, Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi impian dan bualan semata.
Ditambah, baru-baru ini, nama sebuah daerah di Sumatra; Rempang, menjadi perbincangan hangat di media massa. Kabarnya, pemerintah pusat akan menjadikan tanah Rempang—sebagian besar, akan di-Investasikan sebagai lahan pabrik kaca—dan lagi-lagi dengan orang asing sebagai investornya. Karenanya, penduduk asli tanah Rempang akan disingkirkan dari tanah nenek moyang mereka. Tentu mereka tak ambil diam. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mempertahankan tanah tersebut, namun usaha mereka sia-sia. Hanya dengan menodongkan kata: Tanah Milik Negara, seolah pihak pemerintah, tanpa pernah mempertimbangkan nasib masyarakat Rempang.
Lalu, bagaimana nasib masyarakat Rempang yang terusir dari rumah mereka, hanya karena pemerintah lebih mengutamakan orang asing—tentunya yang berharta, dari pada masyarakat lokal.
Masih adakah kesadaran dalam diri kita? Adakah yang lebih manusia dari pada manusia itu sendiri? Tak ada. Namun, jika memang demikian, seharusnya menyadari bahwa kita memiliki hati. Tak selamanya manusia hidup dengan akal—atau meng-akal-akali.
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk rakus. Apa bedanya dengan hewan yang juga begitu rakus? Akal dan hati. Itulah yang membuat manusia menjadi terlihat berbeda dengan hewan. Hewan hanya merakusi beberapa hal, namun manusia hampir merakusi segala hal yang bisa ia gapai.
Kesimpulannya, manusia yang tingkat kerakusannya melebihi hewan, ia adalah hewannya para hewan. Ya, kebanyakan manusia menjadi begitu rakus adalah hanya demi memenuhi kesenangan dirinya seorang, hingga ia dibutakan oleh sebuah kenyataan bahwa ia melampaui batas kenormalan mejadi manusia.