Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 12 Nov 2022 07:05 WIB ·

Tujuan Politik dalam Kacamata NU


 Tujuan Politik dalam Kacamata NU Perbesar

Dalam bentuk demokrasi sebagaimana di negara kita, pengejawentahan penyerapan hukum Islam dalam bernegara bisa ditempuh dengan adanya wakil-wakil dari Islam yang duduk dalam pemerintahan. Dengannya, gagasan-gagasan yang berupaya mewujudkan kemaslahatan bagi umat Islam bisa dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Langkah penyerapan hukum syari’at yang menjadi sebuah hukum perundang-undangan bisa dilihat dalam keputusan NU pada Muktamar ke 32, tahun 2010 di Makassar melalui “Qawa’id Taqnin” (Metode Pembuatan Undang-Undang), berikut keputusannya :

NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam oleh masyarakat Indonesia dan dalam hukum nasional berjalan alami karena sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam.

NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Pola penyerapan itu tergantung pada kemungkinan keberlakuannya yang memiliki tiga kemungkinan, yaitu formal, substansial, dan esensial.

baca juga: Relasi Politik dengan Agama

1.Formal (Rasmiyyah)

Artinya penyerapan hukum Islam pada hukum nasional secara formal. NU memandang ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam sebagai konsekuensi tugas negara sebagai sarana memudahkan pelayanan untuk memberikan kemudahan bagi umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam seperti zakat, wakaf, peradilan agama, haji, hukum waris, wasiat, hibah, dan transaksi perbankan maupun ekonomi syari’ah pada umumnya.

NU mendorong terbitnya peraturan perundang-undangan yang secara formal mengatur persoalan tersebut guna kepentingan umat Islam. Hal ini tidak berdimensi diskriminasi, karena tidak akan mengurangi hak-hak warga negara lainnya. Penegasan ini dimaksudkan sebagai pengejewentahan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.

2. Substansial (Dzatiyyah)

NU berupaya agar nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan kemaslahatannya oleh seluruh umat manusia. Atas dasar itu juga, bagian-bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan tata pergaulan secara universal, pada dasarnya juga bermanfaat bagi seluruh umat manusia.

Namun oleh karena sistem politik bangsa Indonesia belum memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka NU memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundang-undangan seperti masalah larangan pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, korupsi, perusakan lingkungan, pelacuran dan lain sebagainya.

3. Esensial (Ruhiyyah/Jauhariyyah)

Penyerapan dan penerapan hukum Islam dapat juga terjadi secara esensial. Dalam arti terserapnya nilai-nilai hukum Islam dalam sistem hukum nasional, meskipun tidak dalam bentuk norma maupun sanksi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Hal ini misalnya, berkaitan dengan upaya mendekatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang pidana yang lebih mendekati nilai ajaran Islam. Sehingga akan semakin menjauhkan pelaku tindak pidana dari berbagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.[1]

Di sinilah begitu tampak kaitan erat antara politik dan agama. Politik ialah sarana bagi agama dalam mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu, itu tak dapat digambarkan dengan kekosongan “santri” dalam gedung parlemen -pada khususnya- dan kancah perpolitikan Indonesia -pada umumnya.

tonton juga: HUBUNGAN SANTRI DENGAN SUMPAH PEMUDA | Duta damai santi jawa timur

Akan tetapi yang perlu diingat bahwa politik ini harus dipahami secara luas tak hanya terbatas pada politik struktural formal belaka, melainkan juga menyangkut kulturisasi politik secara luas.

Politik bukan berarti hanya perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani maupun ruhani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.[2]

Yang jelas, dalam bangunan politik skala luas maupun kecil, semuanya harus didasarkan pada kaidah :

تَصَرَّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Kebijakan seorang imam, harus berorientasi akan kemaslahatan rakyat.”


[1] Diambil dari buku Kritik Idiologi Radikal, (Kediri: Lirboyo Press, Kediri) Hlm. 249. (Hasil-hasil Muktamar ke-32 NU) Penyunting Abdul Mun’im DZ dkk.
[2] KH. MA Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Surabaya: LKIS, Cet. VII, 2011), Hlm. 212.

Tujuan Politik dalam Kacamata NU
Tujuan Politik dalam Kacamata NU

Artikel ini telah dibaca 2 kali

Baca Lainnya

Politik Damai: Jalan Menuju Kehidupan yang Harmonis

21 November 2024 - 08:56 WIB

Politik dan Kemanusiaan dalam Pilkada Serentak

19 November 2024 - 11:09 WIB

Membangun Kehidupan Berbangsa Melalui Toleransi dan Keadilan

30 Oktober 2024 - 06:13 WIB

Radikalisme dan Upaya Pembentukan Desa Siaga sebagai Benteng Keamanan Nasional

30 Oktober 2024 - 05:55 WIB

Menilik Sejarah Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

26 Oktober 2024 - 05:18 WIB

Radikalisme dan Tantangan yang Dihadapi Negara

26 Oktober 2024 - 05:06 WIB

Trending di Kontra Narasi