Oleh: Saiful Bahri
Ada fenomena unik yang menjadi tren di media sosial akhir-akhir ini. Terutama yang menyangkut dengan keberagamaan. Hadirnya ustaz dan selebriti hijrah di media sosial menambah dinamika dan diskursus keberagamaan baru. Khazanah keberislaman kita pada akhirnya dipenuhi dengan konten ajakan untuk kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, atau barangkali konten yang hadir justru menyeragamkan model keberagamaan kita.
Seolah-olah beragama harus ketat, serius “tegang” dan ujung-ujung nanti terjebak pada persoalan yang intoleran dan ektrem. Fenomena semacam ini alih-alih menebarkan konten Islam rahmatan lil alamin, melainkan justru arogan dan kaku cara menampilkan keberagamaan di ruang publik. Hadirnya buku Tuhan itu “Maha Santai”, Maka Selowlah… (2019) menjadi jembatan untuk menengok kembali keberagamaan kita dewasa ini.
Buku karya Edi AH Iyubenu bukan semata-mata mereduksi model keberislaman para para pedakwah dadakan dalam khazanah keberislaman kita, melainkan mencoba menyadarkan kita pada keberislaman yang jauh-jauh hari sudah diajarkan salafus as-saleh terkait dengan model keberislaman dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Contoh sederhananya adalah Wali Songo dengan metode dakwah merangkul bukan memukul dan menyayangi bukan malah membenci.
Saying sekali, praktik berdakwah di akar rumput tidak dibarengi dengan keluasan ilmu pengetahuan tentang Islam. Dalil-dalil tentang perintah mengajarkan Al-Qur’an (dan Islam) berbarengan dengan sprit berdakwah yang luar biasa dan menjadi tren di media sosial tanpa dibarengi dengan kritisme rawan menobatkan dakwah sebagai ekspresi kekafahan keimanan dan keislaman (hlm. 61). Hal ini berbanding terbalik dengan ulama dan kiai yang kapasitas keilmuan cukup luas, di mana dalam menyampaikan dakwah dan ayat Al-Qur’an tidak sepotong-potong menakik suatu hokum dengan menggunakan satu ayat.
Hari ini kita bukan hanya melihat secara gamblang para da’i yang memburu panggung, khususnya di media sosial. Dari sana kita akan menyaksikan dampak-dampak buru dakwah yang nekat, arogan, ahistoris, intoleran dan sesekali ustaz yang mengkafir-kafirkan kelompok yang berbeda keyakinan dengan kita misal. Untuk itu, saatnya memilih dan memilah dengan cermat sajian dan koten dakwah yang sahih (hlm. 65). Jika ada pedakwah yang bermasalah pada aspek kesalehan sosial dan aspek-aspek lai, tetapi cukup lantang menyerukan takbir dan kutipan-kutipan ayat Al-Qur’an, orang-orang macam ini perlu dihindari bukan dimusuhi.
Panggilan dakwah (misionari) pada dasarnya adalah khittah Imani, tetapi bukan semborono menjadikan dakwah sebagai satu-satunya tugas misionari untuk aktivitas dakwah di ruang-ruang publik. Artinya, atmosfir nalar perlu cermat, berdakwa bukan semata-mata berdakwah, tetapi lakukan dengan hikmah (cinta, bijaksana), mau’izhah hasanah (nasihat yang baik), jidal yang ahsan (dialog yang baik), dan wala tafarraqu wakhtalafu (tidak memicu perpecahan). Ini batasan dakwah untuk tidak menimbulkan perpecahan dan kegaduhan di masyarakat (hlm. 67-68).
Jika Tuhan dihadirkan sebagai “Yang Maha Santai”, maka seyogyanya kita sebagai hamba beragama tidak ruwet dan serba ribet. Agama itu memudahkan, Islam itu gampang. Yang bikin sulut kan sampeyan-sampeyan ini (hlm. 90). Serupa dengan ini agama perlu dipahami sebagai hubungan dengan Tuhan, manusia dan lingkungan. Untuk itu, merawat keberlangsungan hubungan cinta dan kasih sayang dengan sesama hamba dan lingkungan sekitar bagian penting dari misi agama itu sendiri.
Identitas Buku
Judul : Tuhan itu “Maha Santai”, Maka Selowlah…
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Pertama, September 2019
ISBN : 978-602-391-789-1