Oleh: Mutawakkil
Toleransi merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh Islam dan diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sepanjang sejarahnya, beliau telah menunjukkan banyak contoh teladan dalam membangun hubungan harmonis dengan pemeluk agama lain.
Pelajaran dari Perjanjian Hudaibiyah
Peristiwa Perjanjian Hudaibiyah menjadi salah satu contoh nyata toleransi yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika berniat melakukan umrah di Makkah, beliau terlibat dalam negosiasi dengan kaum Qurays (pemeluk agama lain) yang saat itu masih menguasai kota tersebut. Negosiasi ini berujung pada perjanjian tertulis yang memuat beberapa poin (sebanyak lima poin).
Dalam proses penulisan perjanjian, terdapat beberapa diskusi terkait kata-kata yang digunakan. Misalnya, saat Sayyidina Ali menulis basmallah (Dengan menyebut nama Allah), pemimpin kaum Qurays keberatan dan meminta diganti dengan “Bismikallahumma” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang). Nabi SAW menyetujuinya demi tercapainya kesepakatan. Selanjutnya, terjadi perdebatan terkait gelar Rasulullah. Kaum Qurays menolak gelar tersebut ditulis, sehingga dihapus dan diganti dengan “Muhammad bin Abdullah” (Muhammad putra Abdullah).
Diskusi alot juga terjadi pada salah satu poin perjanjian yang dinilai merugikan umat Islam. Poin tersebut menyatakan bahwa siapa saja penduduk Makkah yang datang ke Madinah untuk memeluk Islam harus dikembalikan ke Makkah. Sebaliknya, umat Islam yang pergi ke Makkah tidak boleh dikembalikan ke Madinah. Meski Sayyidina Umar merasa poin ini tidak adil, Nabi SAW menyetujuinya demi terciptanya perdamaian dan hubungan yang harmonis.
Kisah Perjanjian Hudaibiyah ini menunjukkan bahwa toleransi Nabi SAW tidak sekedar penghormatan tetapi juga melibatkan kompromi dan fleksibilitas demi terwujudnya perdamaian dan hubungan baik antar umat beragama.