Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 25 Jun 2024 09:50 WIB ·

Ternyata Ada Habib yang Menyebarkan NU ke Daerah-Daerah, Simak!


 Ternyata Ada Habib yang Menyebarkan NU ke Daerah-Daerah, Simak! Perbesar

Oleh: Tsabit Habibi

Pada masa awal persebaran NU ke Sumatera tak lepas dari peran Habib Abdullah Ghatmayr. Heru Sukadri dalam penelitiannya pada 1985 menyebutkan, Habib Abdullah mengikuti Muktamar NU pertama kali saat berlangsung di Surabaya pada 1928. Namun, data lain menyebutkan bahwa Habib Abdullah Ghatmayr memulai aktivitas di NU sejak 1936.

Pendapat yang kedua ini dirasa lebih masuk akal mengingat dia kelahiran 1910. Jika ia hadir di Muktamar ke-3 NU, berarti saat itu ia baru berusia 18 tahun, masih terlalu muda.    Lalu, pada Muktamar ke-7 di Bandung pada 1932, peserta muktamar tak hanya dari Sumatera, tetapi dari Kalimantan, misalnya Haji Sulaiman Kurdi Barabai. Berdasarkan koran Bintang Borneo pada sebuah edisi di bulan September 1933, seorang habib di Kalimantan Selatan waktu itu sudah mengembangkan NU, yaitu Sayid Alwi Al-Kaff Alhinduan.

Di Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Ampenan, para habaib dan ulama multietnis menjadi tulang punggung NU pada awal berdiri. Tentang NU Ampenan ini, dimulai dari sebuah organisasi lokal Persatuan Islam Lombok (PIL), sumber lain menyebutkan PUIL atau Persatuan Ulama Islam Lombok pada sekira 1934. Organisasi itu didirikan tokoh dan ulama asal Banjarmasin, Palembang, Arab, dan India. Tokoh-tokoh itu di antaranya TGH Mustafa Bakri, Sayid Ahmad Al-Idrus, Sayid Ahmad Al-Kaf (lihat A. Taqiuddin Mansur, NU Lombok; Sejarah Terbentuknya Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat Disertai Do’a Istighotsah dan Wirid Harian, 2017).

Tokoh dan ulama itu menggabungkan dua aktivitas yang terkenal dalam sejarah penyebaran dan perkembangan Islam. Mereka adalah pedagang di samping berdakwah. Karena itulah, pergaulan mereka dengan berbagai kalangan dan wilayah terbentuk dengan baik. Termasuk dengan pulau Jawa.    Kebiasaan bertemu dengan berbagai kalangan itulah, menyebabkan mereka mendapat pengetahuan tentang organisasi mana yang berhaluan Aswaja, selaras dengan PIL dan yang bukan. Baik di tingkat lokal suatu wilayah, maupun yang telah berkembang di tingkat nasional.

Mungkin karena ingin memperkuat jaringan Aswaja yang lebih luas, tokoh dan ulama PIL berniat memasuki organisasi berhaluan Aswaja di tingkat nasional. Dari hasil informasi yang mereka dapat, Nahdlatul Ulama adalah organisasi Aswaja yang telah berkembang luas dan bisa dibilang organisasi yang nasional.

Pada akhir 1934, mereka sepakat untuk memasuki Nahdlatul Ulama dengan menghubungi langsung HBNO (PBNU) di Surabaya dengan menjumpai KH M. Dahlan,  pengurus HBNO yang membawahi wilayah timur.

Hasil pertemuan itu, mereka direstui mendirikan NU Cabang Ampenan dengan kepengurusan tokoh dan ulama yang berada di PIL. TGH Mustafa Bakri, Sayid Ahmad Al-Idrus duduk di jajaran Syuriyah, sementara Sayuti (kakak kandung TGH Mustafa Bakri), duduk di Tanfidziyah. Hal serupa terjadi di Kalimantan Selatan, sebuah organisasi bernama Hidajatoel Islamiyah Pantai Hambawang melebur ke dalam NU pada 12-13 November 1936.

Di pulau Jawa sendiri, khususnya di DKI Jakarta, persebaran NU tak lepas dari peran para habib, yaitu Habib Ali Kwitang. Informasi tentang perannya mengemuka pada sebuah diskusi yang diselenggarakan Islam Nusantara Center pada kegiatan Kajian Islam Nusantara dengan tema Manaqib Habib Ali Al Habsyi Kwitang & Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Diskusi tersebut berlangsung 27 April 2019.

Narasumber pada diskusi tersebut mengatakan, NU di DKI Jakarta berdiri atas restu Habib Ali Kwitang. Lalu ia meminta salah seorang muridnya KH Marzuki bin Mirshad untuk mengembangkan NU di Betawi. Namun, sampai tahun 1932, perkembangan NU di Betawi cenderung mandek.

Penyebabnya adalah Habib Ali Kwitang sendiri hanya merestui, tetapi tidak mau tercantum namanya di kepengurusan.    Karena kondisi NU di Betawi tidak berkembang, KH Marzuki bin Mirshad mengeluhkannya kepada Habib Ali Kwitang. Sampai kemudian Habib Ali Kwitang mendeklarasikan diri sebagai orang NU pada tahun 1933, atau setahun sebelum Guru Marzuki wafat. Deklarasi tersebut setidaknya diabadikan oleh tiga koran Belanda di antaranya Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië.

Artikel ini telah dibaca 14 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Telaah Isu Terorisme di Indonesia pada Era Orde Baru (1966-1998)

29 Agustus 2024 - 22:52 WIB

Telaah Isu Terorisme di Indonesia pada Era Pasca Kemerdekaan (1945-1965)

29 Agustus 2024 - 22:49 WIB

Bahaya Intoleransi dan Pentingnya Nilai nilai Kebhinekaan di Indonesia

29 Agustus 2024 - 22:45 WIB

Telaah Isu Terorisme di Indonesia: Dari Masa ke Masa

29 Agustus 2024 - 22:41 WIB

Kampanye Perdamaian: Memperkuat Fondasi NKRI

29 Agustus 2024 - 22:35 WIB

6 Nilai Utama Karakter Santri dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

12 Agustus 2024 - 23:03 WIB

Trending di Kontra Narasi