Oleh : Ahmad Fuadi Akbar
Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1966-1998) ditandai dengan stabilitas politik yang relatif dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, periode ini juga diwarnai oleh berbagai bentuk kekerasan politik dan aksi teror yang memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan era-era lainnya dalam sejarah Indonesia.
Artikel ini akan mengkaji isu terorisme selama Era Orde Baru, dengan fokus pada aktor, motif, dan dampaknya terhadap masyarakat dan negara.
- Definisi Terorisme dalam Konteks Orde Baru:
Dalam konteks Orde Baru, definisi terorisme cenderung bias dan sering digunakan untuk kepentingan politik penguasa. Menurut Hiariej (2010), “Pemerintah Orde Baru cenderung menggunakan istilah ‘ekstremisme’ atau ‘subversi’ untuk menggambarkan aksi-aksi yang dianggap mengancam stabilitas negara, terlepas dari apakah aksi tersebut memenuhi definisi terorisme secara internasional atau tidak” [1].
- Gerakan Separatis dan Terorisme:
Selama Era Orde Baru, beberapa gerakan separatis dianggap sebagai ancaman teror oleh pemerintah. Dua contoh utama adalah:
- Gerakan Aceh Merdeka (GAM): GAM, yang didirikan pada 1976, melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat. Aspinall (2009) menyatakan, “Pemerintah Orde Baru mengkategorikan GAM sebagai gerakan separatis yang menggunakan taktik teror, meskipun GAM sendiri mengklaim sebagai gerakan pembebasan” [2].
- Organisasi Papua Merdeka (OPM): OPM, yang aktif sejak 1960-an, juga dianggap sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Orde Baru. Menurut Chauvel (2005), “OPM menggunakan kombinasi perjuangan bersenjata dan diplomasi internasional, namun pemerintah Indonesia konsisten melabelinya sebagai gerakan separatis yang menggunakan teror” [3].
- Terorisme Negara:
Beberapa pengamat berpendapat bahwa selama Era Orde Baru, negara sendiri terlibat dalam aksi-aksi yang dapat dikategorikan sebagai terorisme negara. Cribb (2001) mengemukakan, “Penggunaan kekerasan sistematis oleh aparat negara terhadap kelompok-kelompok yang dianggap oposisi, seperti dalam kasus Petrus (Penembak Misterius) pada awal 1980-an, dapat dilihat sebagai bentuk terorisme negara” [4].
- Komando Jihad dan Isu Terorisme Islam:
Pada pertengahan 1970-an, muncul isu Komando Jihad yang dituduh melakukan aksi teror. Namun, beberapa peneliti meragukan keberadaan aktual kelompok ini. Menurut van Bruinessen (2002), “Ada indikasi kuat bahwa isu Komando Jihad sebagian besar adalah hasil rekayasa intelijen untuk menjustifikasi penindasan terhadap aktivis Islam politik” [5].
- Pembajakan Pesawat Woyla (1981):
Salah satu insiden teror yang paling terkenal selama Era Orde Baru adalah pembajakan pesawat Garuda Indonesia Woyla pada 1981. Conboy (2006) mencatat, “Pembajakan Woyla oleh kelompok yang mengklaim berafiliasi dengan Komando Jihad menjadi titik balik dalam kebijakan kontra-terorisme Indonesia, mendorong pembentukan unit anti-teror Kopassus, Detasemen 81” [6].
- Peristiwa Tanjung Priok (1984):
Insiden Tanjung Priok, di mana aparat keamanan bentrok dengan demonstran Muslim, sering dilihat sebagai contoh represi negara yang berujung pada radikalisasi. Hefner (2000) berpendapat, “Peristiwa Tanjung Priok menjadi katalis bagi sebagian kelompok Islam untuk mengambil sikap lebih konfrontatif terhadap pemerintah Orde Baru” [7].
- Pemboman Candi Borobudur (1985):
Pemboman Candi Borobudur pada 1985 menjadi salah satu aksi teror yang mendapat perhatian luas. Abuza (2007) mencatat, “Meskipun pelaku pemboman tidak pernah teridentifikasi secara pasti, insiden ini sering dikaitkan dengan kelompok ekstremis yang terinspirasi oleh ideologi transnasional” [8].
Kesimpulan:
Isu terorisme selama Era Orde Baru memiliki kompleksitas yang tinggi, dengan batas yang sering kabur antara aksi teror, pemberontakan separatis, dan represi negara. Penggunaan label “teroris” oleh pemerintah sering kali menjadi alat politik untuk melegitimasi tindakan keras terhadap oposisi. Sementara itu, munculnya kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan atas nama agama mulai terlihat, meskipun dalam skala yang relatif terbatas dibandingkan dengan era-era selanjutnya.
Pemahaman tentang dinamika terorisme pada Era Orde Baru penting untuk mengontekstualisasikan perkembangan isu ini di Indonesia pasca-Reformasi. Periode ini meletakkan dasar bagi munculnya berbagai tantangan keamanan yang dihadapi Indonesia di abad ke-21.
Referensi:
[1] Hiariej, E. (2010). Terorisme di Indonesia: Dinamika dan Tantangan. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Indonesia, 3, 11-28.
[2] Aspinal, E. (2009). Islam dan Bangsa: Pemberontakan Separatis di Aceh, Indonesia. Pers Universitas Stanford.
[3] Chauvel, R. (2005). Membangun Nasionalisme Papua: Sejarah, Etnis, dan Adaptasi. Pusat Timur-Barat Washington.
[4] Cribb, R. (2001). Berapa Banyak Kematian? Permasalahan statistik pembantaian massal di Indonesia (1965-1966) dan Timor Timur (1975-1980). Dalam I. Wessel & G. Wimhöfer (Eds.), Kekerasan di Indonesia (hlm. 82-98). Abera Verlag.
[5] van Bruinessen, M. (2002). Silsilah Radikalisme Islam di Indonesia Pasca-Suharto. Penelitian Asia Tenggara, 10(2), 117-154.
[6] Conboy, K. (2006). Front Kedua: Di Dalam Jaringan Teroris Paling Berbahaya di Asia. Penerbitan Ekuinoks.
[7] Hefner, RW (2000). Civil Islam: Umat Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Pers Universitas Princeton.
[8] Abuza, Z. (2007). Politik Islam dan Kekerasan di Indonesia. Routledge.