Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Ruang Seni · 24 Jun 2024 12:03 WIB ·

Tampil Sambut Tamu Kehormatan di Event Internasional, Yuk Intip Makna Perdamaian dalam Tari Sintung di Kabupaten Sumenep Madura


 Pementasan Tari Sintung di Pendopo Kabupaten Sumenep Madura Perbesar

Pementasan Tari Sintung di Pendopo Kabupaten Sumenep Madura

Oleh: Abdul Warits

Tari Sintung Sambut Tamu Kehormatan di Even Internasional 

Siapa yang pernah mendengar tari sintung? Pasti penasaran apa itu tari sintung? Tari yang popular di kalangan masyarakat Madura ini ternyata memiliki makna perdamaian. Di beberapa event nasional tari ini seringkali ditampilkan untuk menyambut tamu tamu besar seperti Presiden Jokowi atau pejabat negara yang berkunjung ke daerah seperti yang pernah ditampilkan di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep Madura.

Menurut cerita Ach Taufiqil Aziz, salah satu alumni Pondok Pesantren Annuqayah dalam tulisannya menyebutkan bahwa Presiden Jokowi pernah disambut dengan Kesenian Tarian Sintung pada tanggal 08 Oktober 2017 saat berkunjung ke Annuqayah menghadiri acara Hari Perdamaian Internasional yang diselenggarakan oleh Perempuan Berdaya, Komunitas Damai.

Kedua kalinya, tari sintung pernah ditampilkan oleh Duta Damai Santri Jawa Timur BNPT RI saat kegiatan bedah buku “Damailah Negeriku” bekerja sama dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (DEMA-I) Instika  di Aula Asy-Syarqawi Pondok Pesantren Annuqayah, Kamis (19/10/2023).

Pada kegiatan tersebut, ada Festival Cinta Buku (FCB) Nasional yang dihadiri langsung oleh Kasubdit Kontra Propaganda BNPT RI, Bapak Kolonel Sus Solihuddin Nasution berlangsung meriah. Pasalnya, sebelum  kegiatan bedah buku dilaksanakan, ada yang menarik perhatian dengan penampilan tari Sintung yang berasal dari desa Tambaagung, Kecamatan Ambunten, Sumenep.

Mengenal Tari Sintung

Kata Sintung merupakan akronim dari rangkaian kata “wang-awang sintung”, “wang-awang” mempunyai arti “mengangkat kaki”, dan kata “sin” berasal dari bahasa Arab, berarti bergembira ria. Sedangkan tung, merupakan kepanjangan dari kata settung (satu).

Secara gamblang dapat diartikan bahwa Sintung adalah refleksi jiwa, ungkapan kegembiraan yang diekspresikan dengan cara mengangkat kaki, bergembira ria sambil melompat-lompat disertai pembacaan shalawat dan barzanji.

Gerak tarian dan nyanyian (shalawat dan barzanji) tersebut, hanya ditujukan pada satu Dzat yang menguasai alam semesta, yaitu Sang Khaliq, Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Kuasa. Lirik dalam Syair Sintung ini sangat sulit diterjemahkan, karena hampir semua kata mengandung unsur bunyi.

Sebagaimana diketahui, kesenian Sintung ini berasal dari Asia Tengah, yaitu semenanjung Arabia. Kesenian ini dibawa oleh para pedagang Gujarat (India), bersamaan dengan misi mereka yaitu menyebarkan agama Islam.

Dari arah Sumatera, tepatnya Aceh, perjalanan kesenian ini terus menuju ke arah timur pulau Jawa, dan akhirnya sampai ke dataran pulau Madura.Menurut salah satu budayawan Madura kesenian ini diperkirakan setua pesantren di kampung Parongpong, Kecamatan Rubaru Sumenep. Pesantren ini diperkirakan berdiri sekitar abad XVIII.

Di pesantren Parongpong, Kecamatan Rubaru Sumenep Madura inilah kesenian Sintung diajarkan kepada para santri. Diantara para santri tersebut ada yang berasal dari Desa Tambaagung Barat, yang secara kebetulan mempunyai hubungan kekerabatan.

Dan dari generasi ke generasi, kesenian Sintung ini diajarkan dan dilestarikan. Adapun Kiai Ridwan dan Kiai Talibin, adalah penata gerak (kreografer) yang paling terkenal pada jamannya, beliau berdua yang meletakkan dasar-dasar tari pada kesenian Sintung. Kesenian ini cepat mendapat respon dari masyarakat, karena banyak membawa pesan-pesan yang Islami.

Pesan dari kesenian itu untuk menunjukkan akan adanya zat yang agung yang mengatur segalanya. Sehingga dengan kesadaran adanya yang agung, maka tentu saja tidak ada zat lain yang perlu disembah. Sehingga dengan menuhankan Allah, sebagaimana kata Gus Dur, bahwa maka jadilah sepertinya diri-Nya yang menerima semua umatnya. Tak membedakan warna kulit, ras, golongan dan agama. Karena dihadapan Allah semua manusia sama.

Ach Taufiqil Aziz lebih lanjut menuliskan tarian sintung ini adalah simbol perdamaian. Karena yang menjalankankan ritualitas Tarian Sintung ini mengungkapkan makna dalam relasi kepada Allah (Hablum minallah), relasi antar manusia (hablum minannnas), dan relasi antar dengan alam (hablum minal alam).

Bentuk gerakan yang dibarengi dengan shalawat itu adalah ekspresi dari cinta kepada Allah, manusia dan alam. Saat sudah cinta yang dijadikan sebagai spirit dan dikongkretkan dalam wujud tarian, maka sebagaimana kata KH. D. Zawawi Imron bahwa setiap orang yang mempunyai cinta yang besar tidak akan memiliki kemampuan untuk membenci kepada orang lain.

Masih kata Taufiqil Aziz menuliskan dalam konteks lain, rasa cinta adalah modal penting untuk merawat kebhinekaan di Indonesia. Hanya saja memang, rasa cinta itu sangat sulit ditengah dinamika kebangsaan yang kini penuh dengan radikalisme dan ujaran kebencian. Sementara tarian sintung hanya bertahan di pelosok desa di Kabupaten Sumenep Madura.

Semoga Tarian Sintung dapat menginspirasi dan menjadi spirit perdamaian dunia. Tarian Sintung adalah bukti sederhana, bahwa kekayaan lokalitas budaya di Indonesia memiliki spirit penting untuk menjaga keutuhan NKRI dengan semangat berani damai.

Lilik Rosida Irmawati, menuliskan di dalam buku “Berkenalan dengan Kesenian Tradisi Madura” bahwa konon, kesenian Sintung ini berasal dari Asia Tengah, yaitu semenanjung Arabia. Kesenian ini dibawa oleh para pedagang Gujarat (India), bersamaan dengan misi mereka yaitu menyebarkan agama Islam. Dari arah Sumatera, tepatnya Aceh, perjalanan kesenian ini terus menuju ke arah timur pulau Jawa, dan akhirnya sampai ke dataran pulau Madura.

Menurut Lilik, kesenian ini diperkirakan setua pesantren di kampung Parongpong, Kecamatan Rubaru. Pesantren ini diperkirakan berdiri sekitar abad XVIII. Di pesantren Parongpong, Kecamatan Rubaru inilah kesenian Sintung diajarkan kepada para santri. Diantara para santri tersebut ada yang berasal dari Desa Tambaagung Barat, yang secara kebetulan mempunyai hubungan kekerabatan.

Secara gamblang dapat diartikan bahwa Sintung adalah refleksi jiwa, ungkapan kegembiraan yang diekspresikan dengan cara mengangkat kaki, bergembira ria sambil melompat-lompat disertai pembacaan shalawat dan barzanji. Gerak tarian dan nyanyian (shalawat dan barzanji) tersebut, hanya ditujukan pada satu Dzat yang menguasai alam semesta, yaitu Sang Khaliq, Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Kuasa.

Lirik dalam Syair Sintung ini sangat sulit diterjemahkan, karena hampir semua kata mengandung unsur bunyi, seperti, Tanaka tapi ashala fi arbani bishudhadi qadazam sufi abra sihata tanakalu. Salatun wataslimun, waasha tahayyadi, alaman alaila hurobbus sama salam (4 kali). Lailatul iknii lailatul ikni (2 kali) ilmu dhawam, waufin lana Allah Allah ya sayyadi (2 kali) ilmu dhawam. Sadayung kembang malati, sukarang diruang-ruang (2 kali). Dari hulu berjanji mati, sukarang diruang-ruang (2 kali). Wang wailung bae janji mati, sukarang diruang-ruang (2 kali). Ahyat dunya dul dawang aladdawang (2 kali). Maulana (4 kali) dawam, ya nabi Muhammad al-Ibnu Abdillah. Dan seterusnya.

Menurut salah satu pemerhati sejarah Sintung, Faiqul Khair, setidaknya ada lebih dari dua versi tentang asal-usul Sintung. Salah satu versi menyatakan kesenian Sintong dibawa oleh sunan Muria, namun ini belum pasti juga, karena di kalangan Wali Sanga, Sunan Muria konon dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap musik. Tokoh Wali Sanga yang menggunakan dan mengkombinasikan musik dalam dakwahnya adalah Sunan Kudus. Ini lebih mungkin, karena keturunan Sunan Kudus justru paling banyak di Madura khususnya Sumenep.

Cerita lain, tambah Faiq, kesenian Sintong diambil dan dibawa ke Sumenep oleh salah satu orang Kampung Prongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk antara abad ke 17-18 yang menjelajah Aceh, Minang hingga Riau dalam sebuah ekspedisi perang. Kemudian setelah beliau pulang ke Prongpong, mengajarkan hal itu hingga menjadi tembang rutin yang terus berkembang seperti halnya Saman dan Sandur.

 

 

Artikel ini telah dibaca 17 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kenali 6 Macam-Macam Tradisi Maulid Nabi di Pulau Jawa

14 September 2024 - 19:13 WIB

Kisah Santri Joinan Rokok dengan Kiainya

30 Agustus 2024 - 22:44 WIB

Kisah Santri Miskin Naik Haji karena Taati Guru

30 Agustus 2024 - 22:39 WIB

Mengenal Aneka Tradisi Perayaan Tahun Baru Islam di Jawa Timur

16 Juni 2024 - 06:40 WIB

SESAK

25 Mei 2024 - 22:10 WIB

Lelaki yang Setia Mencintai Gelombang

24 Mei 2024 - 22:22 WIB

Trending di Ruang Seni