Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 5 Jun 2024 11:38 WIB ·

Tahlil dan Sedekah Mayit


 Tahlil dan Sedekah Mayit Perbesar

Oleh: Tsabit Habibi

Tahlil merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, yaitu tasbih, tahmid, tahlil dan takbir. Sedangkan tahlilan adalah orang yang melaksanakan kegiatan tahlil. Tahlilan dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Yang lumrah di akar rumput dilaksanakan selama 7 hari berturut-turut, hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan haul. Umumnya dilaksanakan pada hari Jum’at untuk mengirimkan doa kepada leluhur yang sudah wafat. Usai melaksanakan rangkaian tersebut, pemilik hajat memberikan hidangan makanan kepada jamaah yang mendoakan almarhumin.

Menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah pada mayit terdapat perbedaan hukum menurut ulama. Pertama, ulama mazhab Hanafi (Az-Zaila’i, 1992), sebagian ulama mazhab Maliki (Arafah Ad-Dasuqi, 1996), Syafi’I (An-Nawawi, 2010), dan Hambali (Muhammad bin Qudamah, 2011) menghukumi boleh dan pahalanya akan sampai pada mayit. Termasuk Ibnu Taimiyah juga memperbolehkan (Taimiyah, 2001). Kedua, sebagian ulama mazhab Mailiki menyatakan tidak sampai pada mayit (Ad-Dasuqi, 1996).

Mengkhususkan waktu tertentu untuk membacakan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah seperti malam Jum’at atau setelah melaksanakan shalat fardhu, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani membolehkan untuk melaksanakan amal saleh dan melanggengkannya (al-Asqalani, 2018). Kendati tahlilan sebuah amaliyah yang diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam di Indonesia (Islam Ahlussunah wal Jamaah An-Nahdliyah), dan meskipun tidak diajarkan oleh Rasulullah, amaliyah tersebut dibolehkan karena tidak ada satupun unsur di dalamnya bertentangan dengan agama.

Imam Nawawi dan ulama sepakat bahwa sedekah untuk almarhumin hukumnya boleh dan pahalanya sampai serta bermanfaat (An-Nawawi, 2010). Selamatan (sedekah) 7 hari beruntun, 40, 100, dan 1000 hari kematian dan haul dilakukan sesuai dengan waktu tertentu, karena secara fisik, biologis dan spiritual, jenazah akan mengalami perubahan. Secara historis, peringatan itu berasal dari kebudayaan Hindu Jawa yang memuja ruh. Namun saat Islam datang, ritual tersebut tidak hapus, tetapi diganti dan diberi warna Islam. Tidak heran ulama kontemporer menghukuminya makruh sebagaimana tertera dalam kitab I’anatut at-Thalibin.

Sedekah sortana, rebbha’an, lemas, berkat dan sedekah perlengakapan sandang yang diajarkan oleh ulama-ulama tradisional, maknanya adalah supaya warga memahami bahwa kematian proses penyucian. Sedangkan ritualnya adalah konstruksi kultural. Dari sinilah warga menghukumi sebagai hukum adat. Sedangkan sedekah yang pahalanya ditujukan untuk mayit, hukumnya sunnah. Namun sedekahnya itu tidak diambil dari harta almarhum, tetapi dari ahli waris atau anak-anaknya. Bahkan keluarga duka dipersilahkan bersedekah kapanpun kendati niat itu diucapkan dalam hati. Berdasarkan putusan Muktamar ke-1 NU yang diselenggarakan di Surabaya (21 Oktober 1926), penyediaan makanan atau sedekah dari keluarga duka dikaitkan dengan hari wafat atau hari tertentu secara khusus, maka hukumnya makruh (Sholikhin, 2010).

Artikel ini telah dibaca 7 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Mewujudkan Demokrasi Sehat Melalui Pilkada Serentak

23 November 2024 - 08:59 WIB

Santri Sebagai Pilar Perdamaian di Dunia Perpolitikan

21 November 2024 - 09:10 WIB

Bahaya Politik dan Pertumpahan Darah, Bagaimana Solusinya?

19 November 2024 - 11:42 WIB

macam-macam darah wanita

Peran Santri dalam Membangun Generasi Emas Indonesia

17 November 2024 - 12:42 WIB

Dari Keraguan ke Keyakinan: Menemukan 7 Rahasia Kekuatan Pribadi dalam Diri

16 November 2024 - 10:11 WIB

Menakar Efektivitas Pemberdayaan Sistem Koperasi dalam Program “Solusi Nelayan”

11 November 2024 - 14:43 WIB

Trending di Suara Santri