Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 31 Mei 2024 23:18 WIB ·

Tafsir Tentang Hutang Piutang QS. Al-Baqarah 282


 Tafsir Tentang Hutang Piutang QS. Al-Baqarah 282 Perbesar

Oleh: Abdul Warits

 Ayat QS. Al-Baqarah 282 adalah yang terpanjang dalam Al-Qur’an, dan dikenal oleh para ulama dengan nama Ayat al-mudayanah (Ayat Hutang piutang).[1] Hal ini menunjukan bahwa harta bukanlah sesuatu yang dibenci oeh Allah, dan hutang pun bukan menunjukan kefakiran, akan tetapi akan tercipta hubungan baik antar manusia yang  menunjukan bahwa islam itu adalah agama yang juga sungguh-sungguh, semangat dalam bekerja dan mencari keuntungan dengan cara yang halal.[2] maka, demi memelihara harta serta mencegah kesalah pahaman, hutang piuatang hendaknya ditulis walau jumlahnya kecil.Perintah tersebut secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman[3], tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan Transakasi hutang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu.[4]

Rata-rata para Ulama berpendapat tentang perintah menulis hutang piutang itu sebagai anjuran, bukan kewajiban. Jika perintah tersebut bersifat wajib, maka akan sulit untuk diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini, karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Perintah tersebut ditujukan kepada dua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya,bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, maka hendaknya mencari orang ketiga.[5]

Orang yang menulis itu harus adil,artinya menulis dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Maka dari itu, harus memenuhi tiga kriteria,yaitu; kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis peerjanjian, dan kejujuran.[6]Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dari pada pengetahuan yng diajarkan Allah. Hal ini karena keadilan, disamping menuntut adanya pengetahuan, juga karena  adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidak adilannya, ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewangannya.[7]Dan juga, Ibnu katsir berpendapat bahwa orang yang diberi kepercayaan untuk menulis tidak boleh menolak dengan Alasan apapun.[8] Sedangkan wahbah Zuhaili sendiri masih membatasi kewajiban tersebut, dalam artian hukumnya dari anjuran menjadi wajib manakala tidak ada yang mampu selain dirinya untuk melaksanakan.[9] Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya.

Kata saksi yang diunakan dalam ayat di atas adalah syahiidain bukan sayaahidain. Ini berrti bahwa saksi yang diaksud adalah benar benar yang wajar dan tidak diragukan kesaksiannya. Dua orang yang dimaksud adalah laki-laki muslim,[10] dan merdeka.[11] Kalau bukan dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dengan dua orang perempuan agar jika salah satu lupa, maka yang satu mengingatkan. menurut Ibnu katsir  penyetaraan dua orang perempuan dengan seorang laki-laki adalah karena kemampuan intelektualnya kurang.[12] Akan tetapi, Quraish Shihab berpendapat bahwa persepsi yang demikian itu keliru. Menurutnya, Al-Qur’an menhendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang piutang, baik karena suami tidak mengizinkan ketelibtan  mereka mauun oleh sebab lain, maka kemunginan mereka lupa lebih besar kemungkinannya dari pria. Karena itu, demi menguatkan persaksian, dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.[13]

Yang dinamakan saksi adalah orang yang bepotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian. Ayat di atas memiliki pengertian, janganlah orang yang berpotensi menjadi saksi menolak jika mereka diminta.[14]Jadi, Wajib hukumnya melaksanakan persaksian jika diminta, jika tidak, maka hukumnya fadhu kifayah.[15]

Petunjuk- peetunjuk di atas adalah jika muamalah dilakukan dalam benuk hutang piutang. Akan tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai, maka tidak apa-apa jika tidak menuliskannya.[16]perintah bersaksi dalam jual beli di sini, dipahami sebagai petunjuk umum oleh mayoritas ulama, bukan perintah wajib.

Ayat tersebut ditutup dengan perintah bertakwa yang disusul dengan peringatan Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengatahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara yang terselubung untuk menarik keuntungansebanyak mungkin. Dari sini peringatan terntang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat penting.[17]

 

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu katsir,Imamuddin Abu al-fida’ Isma’il, tth ,Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, J.I, Jiddah: Al-Haramain

Shihab,Quraish,2002,Tafsir Al-Mishbah: pesan,kesan,kesan, keserasian Al-Qur’an, j.1,Jakarta: lentera Hati,

Zuhaili ,Wahbah, t.th ,tafsir Al-munir, j II, Beirut: Dar Al-Fikr

[1] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan,kesan,kesan, keserasian Al-Qur’an, j.1,(Jakarta: lentera Hati, 2002) hal. 602

[2] Wahbah Zuhaili, tafsir Al-munir, j II, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th) hal.118

[3] Imamuddin Abu al-fida’ Isma’il Ibnu katsir,Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, J.I(Jiddah: Al-Haramain, tth) hal.505

[4] Quraish shihab, op.cit.,hal. 603

[5]Op.cit.,hal.604

[6]Loc.cit

[7] Wahbah Zuhaili,Op.cit., hal.119

[8] Imamuddin Abu al-fida’ Isma’il Ibnu katsir,Op.cit., hal.507

9.Wahbah Zuhaili,Op.cit., hal.119. Lihat juga Quraish shihab, op.cit.,hal. 605

[10] Quraish shihab, op.cit.,hal. 606

[11] .Wahbah Zuhaili,Op.cit., hal.120

[12] Imamuddin Abu al-fida’ Isma’il Ibnu katsir, Op.cit., hal.508

[13] Quraish shihab, op.cit.,hal. 607

[14]Op.cit., hal.608

[15] Imamuddin Abu al-fida’ Isma’il Ibnu katsir, Op.cit., hal.509

[16]Op.cit., hal.610

[17] Quraish shihab, op.cit.,hal. 609

 

Artikel ini telah dibaca 26 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tantangan dan Peluang Pesantren di Era Modern

27 September 2024 - 14:53 WIB

Mengetahui Seseorang Banyak Membaca Buku atau Tidak, Begini Caranya

22 September 2024 - 14:08 WIB

Peran Perempuan Muslim dalam Kepemimpinan: Menggali Kembali Ajaran Islam tentang Keadilan Gender

22 September 2024 - 14:04 WIB

Perayaan Maulid Nabi Sarana Memperkuat Persatuan Kebangsaan

21 September 2024 - 11:07 WIB

Pesantren: Pusat Pendidikan dan Pengembangan Karakter

21 September 2024 - 08:35 WIB

Upaya Dasar Pencegahan Bullying Di Pesantren

20 September 2024 - 21:13 WIB

Trending di Suara Santri