Oleh : Abdul Warits*
Perdamaian santri terbentuk melalui sikapnya dalam beradaptasi dengan lingkungan masyarakat. Di pesantren kita sering mengenal ada berbagai macam organsiasi asal santri yang dibentuk bahkan merambat ke ranah organisasi yang menyatukan seluruh alumni pesantren. Organisasi yang menampung dari masing-masing daerah santri biasanya melaksanakan satu kegiatan kemasyarakatan di tengah-tengah masyarakat seperti pengajian umum, halaqah, bahsul masail dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka kemaslahatan bersama, seperti bakti sosial (baksos), santunan anak yatim, dan lain-lain. Santri berusaha membaur, menjalin hubungan perdamaian demi menyebarkan syiar agama Islam bersama masyarakat melalui dakwah persuasif di tengah tengah masyarakat.
Tidak heran kemudian, Prof Abd. A’la dalam bukunya Pembaharuan Pesantren mengatakan jika Pondok Pesantren yang dihuni santri sebagai institusi pendidikannya memang lahir dan dibesarkan di lingkungan masyarakat. Pondok pesantren tidak bisa dilepaskan dari masyarakat. Lembaga ini mempunyai haluan: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Pondok Pesantren juga melibatkan diri sebagai bagian masyarakat dalam pengertiannya yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian social—yang pada mulanya—ditekankan pada pembentukan moral keagamaan kemudian dikembangkan kepada rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Shalat berjamaah merupakan salah satu simbol persatuan seorang santri dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mencerminkan sikap persatuan yang melekat dalam diri santri. Sikap persatuan bangsa Indonesia harus dimulai dari lingkungan paling kecil sekalipun, semisal pesantren. Selain itu, ketika mereka selesai shalat berjamaah, muncullah watak perdamaian santri dalam bentuk bersalam-salaman. Jabat tangan adalah simbol estetika perdamaian. Inilah sikap santri dalam berbudi pekerti. Mereka saling menghargai, mengedepankan hati nurani, meniadakan dendam setiap hari, membentuk hati yang suci, berbagi makanan dengan sesama teman untuk menanak bersama dalam menciptakan suasana kekeluargaan, keharmonisan, dan kerukunan. Santri selalu ihtimam (peduli) kepada apa yang diimpikan oleh negeri ini dalam segala aspek terutama perdamaian. Kepedulian santri tentu sangat berarti, karena mereka bisa melahirkan lingkungan damai terkendali. Perbedaan antara si kaya dan si miskin bukan sebuah halangan untuk menciptakan persatuan dalam merangkai perdamaian.
Selebihnya, peran santri dan kiai terlihat ketika Kiai Wahid Hasyim Asy’ari ikut andil dalam usaha menggapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Beliau menjabat sebagai Menteri Agama pertama Republik Indonesia sekaligus panitia perumus rancangan pembukaan UUD Republik Indonesia. Ditunjuknya Kiai Hasyim Asy’ari sebagai panitia perumus pembukaan UUD Republik Indonesia, karena kapasitas Inteletualnya dalam menjembatani berbagai perbedaan antara para penganut Islam tradisionalis, Islam modern dan nasionalis sekuler.
Oleh sebab itu, mayoritas masyarakat Indonesia akhirnya memandang santri sebagai orang berarti, karena santri menerapkan nilai-nilai religi, demokrasi, sosial, memperkokoh tradisi, silaturrahmi. Sehingga pada akhirnya, Presiden Ir. Joko Widodo menghadiahkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri Nasional. Ajaibnya, tanggal 22 Oktober itu memang bersamaan dengan resolusi jihad K.H. Hasyim Asy’ari dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia tempo dulu. Sungguh sangat Menakjubkan!
Santri selalu mendengungkan perdamaian melalui tindakan setiap hari, menjaga tradisi keislaman, yang disublimasikan bagi masyarakat di negerinya. Untuk menjaga perdamaian negerinya, santri memulainya dengan kebiasaan yang ditelurkan dalam kehidupan setiap hari. Mereka punya ‘gerilya perdamaian’ yang terus digerakkan. Santri tidak pernah berhenti untuk tetap mentranformasikan ilmunya kepada masyarakat dengan beberapa ilmu agama yang telah diperoleh dari seorang kiai disertai aplikasi sosial yang tinggi dalam berkebangsaan. Santri mempunyai tanggung jawab besar menjaga kehidupan masyarakat, menjadi pengendali (controlling) terhadap carut marut kehidupan masyarakat melalui ajakan perdamaian. Jika sudah seperti itu, lestarilah cita-cita bangsa Indonesia yang luhur, suci dan murni dengan adanya ijtihad santri.
Dari itulah, ijtihad perdamaian santri berakar dari ajaran Al-Quran tentang konsep dakwah. Konsep dakwah itu dengan cara hikmah, mauidzah hasanah (peringatan kepada kebaikan bagi orang yang yang dianggap butuh dan tersesat di jalan kemurkaan), mujadalah (berdialog atau negoisasi) dengan pihak-pihak terkait. Maka, konsep dan ajaran perdamaian santri harus kita semai di negeri ini supaya tumbuh kesejahteraan yang menjulang menjelma keharmonisan di tengah perbedaan.