Kholifatul Jannah*
“Bu, uang sakunya Salman, mana?” aku merongoh uang 2.000 rupiah dibawah tikar tempat tidurku, uang itu adalah uang terakhir yang aku punya. Semenjak kepergian suamiku 4 bulan lalu, ditambah ayah meninggal 15 hari yang lalu, aku menjadi tidak punya arah. Aku tidak punya penghasilan tetap, setiap hari aku hanya menyulam daun siwalan menjadi tikar, dan itu hanya berharga 15.000 per satu buah tikar. Butuh proses 2-3 hari untuk aku menghasilkan sebuah tikar.
“Adanya hanya segini, Salman. Tidak apa-apa yaa?” Salman tersenyum manis, sangat manis
“Tidak apa-apa Ibu, ini sudah cukup” aku memeluk tubuh Salman erat. Aku berterimakasih kepada Tuhan karena telah mengkaruniaiku anak yang tak pernah mengeluh seperti Salman, dia malaikat kecil yang selalu menemani ku sepanjang waktu.
“Salman berangkat sekolah dulu ya, Ibu. Assalamualaikum” dia menyalamiku dan bergegas untuk pergi kesekolahnya bersama dengan teman-temannya.
“Waalaikumsalam maafkan Ibu Salman. Mungkin setelah ini kamu pasti kecewa sama Ibu” gumamku
Setelah kepergian Salman, aku segera mengkemaskan pakaian ku, membawa pakaian yang sekiranya aku butuhkan disana.
“Halo. Iya ini aku sudah mau berangkat, masih siap-siap” ujarku pada seseorang di seberang sana. Aku menutup telephonenya dan bergegas menemui Andi, adik sepupuku.
“Mau kemana Bak? Kok bawa banyak pakaian?”
“Oh ini hanya barang dagangan saja, embak mau antar baju pesanan orang, An. Kamu bisa kan antar Embak ke toko baju seperti biasa?” andi mengangguk, dia mengantarkanku ke toko baju yang sering aku kunjungi. Ya rabb, maafkan hamba, Hamba sudah berbohong.
“Andi, kamu gak papa pulang duluan, Embak masih mau nunggu teman dulu”
“Sudah Bak, aku mau nunggu disini saja. Kasihan Embak sendirian”
“Gak papa Andi, nanti kalau urusan Embak sudah selesai, nanti Embak kabari Andi” Andi mengiyakan, lalu pamit untuk pulang.
“Nitip Salman, An. Jaga dia baik-baik” ujarku. Namun Andi pasti tak akan mendengarnya karena dia sudah melesat pergi dengan motornya. Maafkan Ibu Salman, ini demi kebaikan kita.
Tak lama kemudian seorang lelaki datang menghampiriku, dia membuka helm full facenya
“Sudah lama menunggu?”
“Tidak, baru saja sampai”
“Oh.. ayo Yang, naik.” Aku mengangguk. Lalu duduk dijok belakang. Iya, dia kekasihku. Lelaki yang sebulan lalu aku temui, dia lelaki berhasil masuk kedalam hidupku, mengisi kegersangan hatiku semenjak kepergian Tristan (mantan suamiku) yang memilih meninggalkanku demi wanita yang baru. Aku bahagia memiliki Sufyan, kekasihku. Dia menerima semua kekuraganku, termasuk Salman, anakku. Dia tidak hanya mneyayangiku, tapi juga menyayangi Salman. Hari ini aku akan pergi ke Jakarta dengannya, dengan Sufyan. Aku terpaksa melakukan ini semua karena orang tuaku tidak setuju dengan hubunganku dengan Sufyan, mereka takut Sufyan suatu saat akan meninggalkanku sama seperti Tristan waktu itu. Namun, aku tetap pada pendirianku, aku berusaha meyakinkan Ibuku bahwa Sufyan tidak seperti Tristan. Namun Ibu tetap tidak mempercayaiku. Sufyan memperhatikanku lewat spionnya
“ Sudah, semua akan baik-baik saja Ayla, kamu tidak usah khawatir”
“Tapi Mas, aku masih kepikiran Salman”
“Salman akan baik-baik saja dengan Andi. Sudah kamu tidak usah khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu seperti apa yang Tristan lakukan dulu”
“Terimakasih Mas, aku percaya padamu, dan tolong jangan pernah Mas menghancurkan kepercayaanku” Sufyan hanya mengangguk beberapa kali.
***
Setelah sampai di Jakarta, aku segera menguhubungi Andi, aku sudah tak kuasa lagi ingin mendengar kabar Salman, anakku.
“Halo, Bak Ayla, kamu dimana? Kenapa Embak tidak pulang selama dua hari? Bibi mencarimu, Salman juga. Salman mencari keberadaan Embak dari kemarin” Aku diburu pertanyaan oleh Andi.
“Maafkan Embak, Andi, sudah membuat kalian khawatir. Embak tidak apa-apa, sudah tidak usah mencari Embak. Bilang sama Ibu, Ayla ada di Surabaya mencari nafkah untuk Ibu dan Salman. Oh iya Embak titip Salman ya Andi, jangan sampai sakit”.
“Sekarang Salman memang lagi sakit bak, semenjak Embak pergi, Salman tidak mau makan, Salman tidak mau sekolah, dia hanya selalu menangis di kamarnya, terkadang dia sampai tertidur sambil memeluk foto Embak. Pulanglah Bak, Salman merindukanmu” aku sakit mendengarnya, dengan semua pernyataan Andi tentang Salman, dan itu berhasil membuatku semakin merasa bersalah.
Maafkan Ibu Salman, maaf, Ibu lebih memilih lelaki yang baru saja Ibu kenal dibandingkan kamu, malaikat kecil yang selalu menemani Ibu di segala waktu. Maafkan Ibu Salman.
“Andi, Embak mau bicara dengan Salman, bisa?” Andi memperbolehkan, dan ia segera menuju Salman.
“Salman, ini Ibu kamu mau bicara” kudengar suara Andi diseberang sana. Hatiku sedikit gugup, mengingat betapa berdosanya aku kepada anakku.
“Ibu, Ibu dimana, Salman rindu Ibu, Salman rindu tidur sama Ibu. Salman rindu disuapin Ibu, Ibu kemana, Ibu gak mau pulang? Ibu gak rindu sama Salman?”. Ujar Salman terisak. Air mataku tidak bisa lagi dibendung, air mataku tumpah seketika.
“Maafkan Ibu ya Salman. Ibu juga rindu Salman. Salman baik-baik ya di sana. Salman tidak boleh nakal-nakal, Ibu lagi cari uang buat Salman. Katanya Salman mau mainan yang banyak. Salman di sana jangan sakit lagi ya, Salman harus sekolah. Dua bulan lagi Ibu pasti pulang.”
“Salman gak mau mainan Bu, Salman hanya ingin ibu. Salman rindu ibu” aku semakin terisak dengan penuturan Salman. Tuhan, ampuni dosa hamba,. Hamba telah melukai hati malaikat kecil tanpa dosa ini.
“Kok gitu? Ibu janji Salman, dua bulan lagi ibu pasti pulang.” Ujarku menyakinkan Salman disana
“Janji ya Bu, dua bulan lagi Ibu pulang.”
“iya sayang, Ibu janji. Ya sudah, Ibu kerja dulu ya Sayang, Salman baik-baik disana. Jangan sakit lagi. Ok Ganteng?” terdengar kekehan Salman diseberang sana, Salman memang terasa senang jika aku memanggilnya dengan sebutan ganteng. Oh anak iytu, sungguh membuatku merasa bersalah dan merasa senang diwaktu bersamaan. Kini hartiku sedikit lega, setidaknya Salman sudah tidak begitu menghawatirkan keberadaannku. lalu aku segera menutup teleponnya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, kini keadaan sudah semakin membaik. Salman disana juga sudah sembuh dan kembali beraktivitas seperti semula. Kini aku tinggal seatap dengan Sufyan. Ibu juga merestui hubunganku dengan Sufyan, dan Sufyan juga sudah melamarku. Kami sudah bertunangan satu bulan lalu. Namun, kabar buruk bisa datang kapan saja. Detik bahagia berlalu, tawa riang yang dulu sering menghiasi ruang, kini sudah tak lagi bersenandang. Sufyan, entah salahku apa, akhir-akhir ini sifat dia sungguh berbeda, dia yang dulu periang kini sudah menjadi pendiam. Dia yang selalu menemaniku di setiap malam, kini sudah jarang pulang. Seolah dia seakan menjauh
“ kamu kenapa Ayla?.” Ujar Ratih, Adik dari Sufyan yang kebetulan satu rumah denganku.
“Tidak apa-apa” ujarku berbohong .
“Tapi…….”
“Ayla, ada yang mau saya bicarakan” ujar Sufyan memotong pembicaraan Ratih.
Aku segera menghapirinya.
“Ada apa Sufyan?”
“Ayla, keluargaku di sana sudah tahu semua tentangmu. Ibuku tidak merestui hubungan ini” aku hanya bergeming mencerna setiap kata yang telah terucap. Pikiranku berkecamuk, rasa sakit tiba tiba menyeruak di dada, tak bisa aku tampung lagi stetes air mata lolos dari kontrolku.
“Jadi, bagaimana dengan hubungan ini Sufyan?”
“Entahlah aku tidak tahu” setelah mengatakan itu, lalu Sufyan kembali pergi. Meninggalkanku dengan sejuta luka. Aku terpukul, sangat. Merasa dikecewakan oleh keadaan. Semua harapanku pupus. Semua anganku tentang bahagia lenyap. Semua hanya tersisa kenangan saja. Semenjak kejadian itu Sufyan tidak lagi menghubungiku. Dia seolah lenyap di telan masa. Sufyan meninggalkanku, Sufyan tak beda dengan tristan. Mengapa saya lagi-lagi dipertemukan dengan lelaki yang selalu meninggalkanku ya Robb. Aku rela meninggalkan Salman demi Sufyan, namun mengapa Sufyan meninggalkanku setelah apa yang selama ini aku korbankan?. Semenjak kepergian Sufyan, aku kembali ke desaku. Aku kembali ke rumah. Aku janji tidak akan meninggalkan Salman lagi demi lelaki yang baru aku temui walupun sufyan pergi namun tetap saja hati ini selalu berharap sufyan kembali. Setelah selsai aku membantu Salman untuk membereskan kamar kecilnya aku kembali ke kamarku. Tak selang beberapa detim HP ku berdering, tanda panggilan masuk.
“Sufyan” gumamku pelan
“Halo” sapanya.
“Halo dengan siapa?” aku pura-pura tidak tahu bahwa itu nomor Sufyan.
“ Ini aku Sufyan. Masih ingat?” tanyanya. Aku tak mungkin lupa, bahkan untuk tidak merindukanmu aku tidak bisa.
“ Iya masih. Ada apa?”
“Tentang kita… Aku akan kerumahmu besok.” Lalu Sufyan segera menutup teleponnya. Hatiku sesak. Akankah ini ahir dari cerita yang selama ini aku perankan? Sufyan pasti datang untuk memutuskan pertunangan ini. Ya robbi. Lagi-lagi aku dipertemukan dengan perpisahan
***
“Tidak bisa. Apa kamu tidak kasihan sama Ayla, Sufyan?. Baru enam bulan lalu Ayla di tinggal pergi oleh suaminya, dan sekarang kamu ingin memutuskan tali pertunanganmu dengan ayla? Aku malu Sufyan. Aku tidak kuat mendengar desas-desus mulut tetangga.” Ujar Ibuku kala mendengar pernyataan Sufyan bahwa ia akan memutuskan tali pertunangan ini. Aku sungguh shok, aku tak bisa menerima semua ini. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa diam, menyimak perlawanan Ibu yang tak mau pertunangan ini batal. Sufyan hanya diam.
“ Aku kasihan sama Ayla, Sufyan. Dia sudah buruk di mata tetangga. Ibu mohon jangan lagi buat keadaan semakin memburuk.” Ujar Ibu sedikit halus. Sufyan hanya tersenyum canggung. Tidak melawan dan tidak pula membantah.
“Ibu serahkan semua padamu Sufyan. Maaf, tadi Ibu sudah kasar padamu” Lalu Ibu meranjak pergi. Kini tinggallah aku dengan Sufyan di sofa yang tidak begitu empuk ini. Kami sama-sama diam tak ada yang mau angkat bicara
“ehemm Ayla.” Aku mengangkat kepalaku setelah tadi Sufyan memanggilku. Kulihat dia sedang menahan tangis, ku lihat berIbu-ribu luka tersimpan di mata sayunya.
“ Aku minta maaf, Ayla.”
“Untuk apa?”
“Maaf selama ini aku sudah menjauhimu” dia mencium tanganku. Air mataku kembali tumpah.
“ aku akan bicara lagi dengan Ibu tentang ini, doakan ya. semoga Ibu bisa menerima kamu lagi” aku hanya mengangguk tak kuasa lagi untuk angkat bicara. Aku menangis sejadi-jadinya di dada bidangnya.
***
“bagaimana dengan Ibu, Mas?” tanyaku dengan sedikit gugup. Aku takut hal yang tak ku inginkan menjadi kenyataan. Sufyan hanya terdiam, hanya hembusan nafas gusar yang terdengar. Pupus sudah harapan tentang hidup bahagia. Hancur sudah harapan yang pernah kami bina. Mungkin memang benar, aku tidak bisa hidup menua bersama Sufyan. Aku tak bisa menolak takdir. Mungkin Sufyan memang bukan terbaik untukku, mungkin memang aku terlihat hina di mata Ibunya. Ibunya tidak bisa menerimaku dan anak dari mantan suamiku. Sakit memang ketika kita sudah tak lagi dianggap, apalagi dengan orang tua kekasih kita. Sufyan kembali angkat suara ketika lama hening melanda. “Ibuku merestui hubungan ini, Ayla”.