Oleh: Ahmad Fuad Akbar
Pada 28 Oktober 1928, para pemuda mendeklarasikan sebuah ikrar yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Semangat persatuan yang dikobarkan saat itu menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Namun kini, di tengah era digital dan globalisasi, tantangan yang dihadapi para pemuda, khususnya kalangan santri, tidaklah semakin ringan – justru semakin kompleks dengan hadirnya ancaman terorisme.
Pesantren: Antara Tradisi dan Tantangan Modern
Pesantren sejak dulu telah menjadi benteng pertahanan nilai-nilai keislaman moderat di Indonesia. Para santri dididik dengan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, mengedepankan toleransi dan kesantunan dalam berdakwah.
Namun, fenomena radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama telah menciptakan dilema tersendiri bagi komunitas pesantren.
Beberapa kelompok teroris secara aktif membidik kalangan santri dan alumni pesantren sebagai target perekrutan.
Mereka memanfaatkan celah kerentanan ideologis dengan menyuguhkan narasi-narasi ekstremis yang dikemas dalam bahasa agama. Media sosial dan platform digital menjadi medan pertempuran baru, di mana propaganda ekstremisme disebarkan secara masif dan sistematis.
Ancaman Nyata di Depan Mata
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa kelompok usia 15-30 tahun menjadi target utama perekrutan kelompok teroris.
Rentang usia ini tepat berada pada masa pendidikan pesantren hingga alumni awal. Beberapa kasus penangkapan terduga teroris yang melibatkan santri atau alumni pesantren menjadi bukti nyata bahwa ancaman ini bukanlah sekadar teoretis.
Memaknai Ulang Semangat Sumpah Pemuda
Di sinilah relevansi Sumpah Pemuda perlu dimaknai ulang dalam konteks kekinian. Jika dulu para pemuda bersatu melawan kolonialisme fisik, maka tantangan hari ini adalah kolonialisme pemikiran yang membawa paham-paham radikal dan destruktif.
Tiga ikrar Sumpah Pemuda dapat diterjemahkan dalam konteks perlawanan terhadap terorisme:
1. Bertanah Air Satu – Menolak segala bentuk ideologi yang ingin memecah belah NKRI
2. Berbangsa Satu – Menjunjung tinggi persatuan di atas perbedaan mazhab dan aliran
3. Berbahasa Satu – Menggunakan narasi-narasi kebangsaan yang menyatukan, bukan memecah belah
Peran Strategis Santri
Para santri sesungguhnya memiliki posisi strategis dalam melawan narasi terorisme. Dengan bekal pemahaman agama yang mendalam, mereka dapat menjadi garda terdepan dalam:
1. Menyebarkan narasi Islam yang damai dan moderat
2. Mengajak generasi muda untuk berpikir kritis terhadap propaganda ekstremisme
3. Membangun jejaring lintas iman untuk memperkuat persatuan
4. Memanfaatkan media sosial untuk kontra-narasi terhadap radikalisme
Semangat Sumpah Pemuda harus terus hidup dan bertransformasi sesuai tantangan zaman. Para santri, dengan tradisi keilmuan dan moderasi beragamanya, memiliki potensi besar untuk menjadi garda terdepan dalam melawan terorisme.
Ancaman nyata terorisme harus dihadapi dengan kesadaran kolektif dan langkah-langkah konkret, tanpa kehilangan jati diri sebagai muslim Indonesia yang moderat dan toleran.
Di tengah pusaran ancaman terorisme, kita perlu kembali merenung: bukankah persatuan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda adalah jawaban terbaik untuk menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keutuhan bangsa? Mari kita jaga warisan para pendahulu ini dengan memperkuat peran santri sebagai benteng moderasi dan perdamaian.