Oleh: Ahmad Fuad Akbar
Tepat 96 tahun yang lalu, dalam sebuah momen bersejarah di Jakarta, para pemuda dari berbagai latar belakang berkumpul dan berikrar dalam Sumpah Pemuda. Mereka menyatakan kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Semangat persatuan ini tidak hanya menjadi tonggak sejarah, tetapi juga merupakan cermin bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan.
Berbicara tentang keberagaman Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan peran vital kaum santri dalam perjalanan bangsa ini.
Stereotip yang berkembang selama ini seringkali memposisikan santri hanya sebagai “penjaga gawang” agama. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa peran santri jauh melampaui urusan keagamaan semata.
Mari kita flashback ke masa perjuangan kemerdekaan. KH. Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, santri-santri yang bergabung dalam barisan Hizbullah, hingga diplomasi-diplomasi yang dilakukan para kyai – semua ini menunjukkan bahwa santri adalah bagian integral dari perjuangan bangsa. Mereka bukan hanya memikirkan eksistensi agama, tetapi juga eksistensi bangsa dan negara.
Di era modern, tantangan yang dihadapi bangsa semakin kompleks. Radikalisme, intoleransi, hingga ancaman disintegrasi bangsa menjadi momok yang mengintai. Di sinilah peran santri kembali diuji. Dengan bekal pemahaman agama yang moderat dan wawasan kebangsaan yang kuat, santri menjadi benteng pertahanan ideologis bangsa.
Pesantren telah membuktikan diri sebagai lembaga pendidikan yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas. Dari pesantren, lahir tokoh-tokoh nasional yang tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Gus Dur, sebagai contoh, adalah produk pesantren yang mampu membawa Indonesia melewati masa transisi demokrasi dengan tetap menjaga keutuhan NKRI.
Saat ini, di tengah arus globalisasi dan revolusi digital, peran santri semakin strategis. Mereka adalah generasi yang memahami bahwa Islam dan nasionalisme bukanlah dua hal yang bertentangan. Justru keduanya saling menguatkan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Momentum Hari Sumpah Pemuda seharusnya menjadi pengingat bahwa santri adalah aset bangsa yang harus terus dikembangkan. Mereka bukan sekadar “cadangan” yang dipanggil saat dibutuhkan, tetapi merupakan garda terdepan dalam menjaga keutuhan bangsa. Dengan pemahaman agama yang dalam dan wawasan kebangsaan yang luas, santri adalah penjaga dua hal vital: nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebangsaan.
Tantangan ke depan tidaklah ringan. Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan spiritual, tetapi juga memiliki komitmen kuat terhadap persatuan bangsa. Santri, dengan karakteristik khas mereka, telah membuktikan diri mampu memenuhi kebutuhan ini.
Mari kita kembalikan semangat Sumpah Pemuda dengan mengakui dan mendukung peran vital santri dalam pembangunan bangsa. Sebab, seperti yang telah dibuktikan sejarah, santri bukan hanya cadangan agama, tetapi juga cadangan bangsa yang siap menjaga dan memajukan Indonesia.