Oleh : Abdul Warits*
Judul : Catatan Orang Dalam
Penulis : Nur Elya Angraini
Penerbit : Cantrik Pustaka
Cetakan : Februari, 2022
Tebal : 123 halaman
ISBN : 978-623-6063-606
Bulan Ramadan selalu menjadi kesempatan bagi elite politik dalam melunturkan ruh demokrasi yang ada di dalam diri masyarakat. Setidaknya bisa disaksikan dengan seksama beberapa modus dan alibi yang dilakukan oleh oknum politisi yang dimaksudkan untuk kepentingan di momentum demokrasi di tahun 2024 mendatang. Di beberapa media ramai isu beberapa elite politik yang mulai melakukan framing ke permukaan—yang tanpa sadar—meracuni sekelumit iman demokrasi masyarakat Indonesia.
Buku yang ditulis oleh Nur Elya Angraini, Anggota Bawaslu Jawa Timur ini memaparkan sejumlah problematika proses pemilihan umum (pemilu). Salah satunya berkaitan dengan bagaimana bulan Ramadan selalu menjadi wahana yang “seksi” bagi elit politisi. Meski begitu, buku ini setidaknya bisa menjadi rujukan dalam mengawal demokrasi yang sengaja dan perlahan-lahan dilunturkan oleh para elite politik di bulan Ramadan ini.
Ada beberapa poin penting yang dijelaskan di dalam buku ini. Di antaranya bagaimana keterlibatan perempuan sebagai kaum yang rentan tergoyahkan, aktivasi peran pemuda dalam pengawasan pemilu, dan tranformasi pemilu dengan hadirnya media sosial (hal. 12). Mengapa perempuan selalu menjadi objek dan sasaran empuk masuknya politik praktis saat pemilu dan politisasi oleh elite politik?
Diketahui perempuan merupakan partisipasi pemilih yang memiliki kekuatan dengan kuantitasnya yang begitu besar di negara Indonesia. Maka tidak ayal jika masyarakat, khususnya perempuan, juga menjadi korban dari bantuan kemanusiaan yang dipolitisasi sebagai bentuk kampanye dikarenakan mentalitas elite yang buruk sehingga membuka peluang untuk menyimpang (hal. 28). Penegasan ini disampaikan oleh Nur elya Anggraini agar pemilihan umum harus mengedepankan perempuan sebagai kekuatan sentral.
Di dalam Esai yang berjudul Ramadan, Perempuan dan Politik, Nur Elya Angraini memberikan inpirasi dan justifikasi bahwa pejuangan terhadap otentitas demokrasi dari kalangan perempuan sangat dibutuhkan di negara di Indonesia agar tidak semakin dirasuki oleh para elite yang tidak bertanggungjawab. Nur Elya Angraini menyarankan agar meminimalisir hoaks sebagai sumber utama kekacauan menjelang pemilu sehingga dibutuhkan fiqih pemilu—sebagaimana cerita Nur Elya Angraini—agar agama tidak hanya menjadi pembalut yang dibutuhkan saat momentum tertentu dan pada sisi lainnya ditinggalkan ketika kepentingan tersampaikan (hal. 104).
Selain itu, ia menegaskan agar mengantisipasi politik uang yang diselundupkan oleh para aktor dan elite politik saat bulan Ramadan tiba seperti ada bakal calon tertentu yang memberikan sejumlah uang tunai terhadap masyarakat untuk membeli kolak puasa atau saat menjelang idul fitri ada bakal calon yang membagikan sarung, kerudung, mukena, dan sajadah dengan stiker dukungan.
Hal itu menurut pandangannya di dalam buku ini, memang tidak dilarang bersedekah, yang dilarang adalah meracuni pikiran pemilih dengan politik uang. Karenanya, buku ini memberikan alarm penting agar masyarakat benar-benar menjaga pemilu dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, terlebih di bulan Ramadan. Oleh sebab itu, salah satu bentuk usaha Bawaslu adalah melaksanakan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP) yang melibatkan anak-anak muda yang memiliki idealisme, akrab dengan gawai dan memiliki kecakapan serta jaringan dalam organisasi kemahasiswaan atau kemasyarakatan (hal. 55).
Selain memperjuangkan ruh demokrasi, salah satu alasan Bawaslu dalam mengincar para pemuda yang potensial karena ke depan akan menghadapi digitalisasi pengawasan pemilu. Pemilu tidak cukup hanya langsung, umum, bebas dan rahasia. Akan tetapi, juga cepat dan tepat dengan memanfaatkan sebaik-baiknya teknologi.
Untuk itulah, Bawaslu mmbuat aplikasi yang dikhususkan terhadap kalangan internal dan ekternal Bawaslu. Aplikasi untuk kalangan internal yaitu Siwaslu (Sistem Informasi Pengawas Pemilu) dan untuk ekternal yaitu Gowaslu, aplikasi pelaporan agar masyarakat dapat dengan mudah mengontrol setiap dugaan pelanggaran dari pemilu dan pilkada. (hal. 56). Tentu yang diharapkan dari pemuda ini tidak hanya dari kalangan laki-laki, tetapi partisipasi perempuan menjadi sangat dibutuhkan dalam rangka menegakkan asas pemilihan umum di negara demokrasi ini.
Bawaslu dengan segala usaha dan persiapannya masih memiliki tantangan yang cukup rumit dengan hadirnya politik uang yang mengancam terhadap kesehatan berdemokrasi masyarakat Indonesia. Sebagaimana dengan virus, politik uang pelan-pelan akan masuk ke dalam diri yang menggerogoti mentalitas masyarakat untuk tidak memilih dalam pesta demokrasi jika tidak ada uangnya. Mentalitas ini menyebabkan harga pemilihan selalu mahal. Kontestasi berubah jadi pasar. Jual beli suara dengan transaksi ini adalah fakta yang harus kita hentikan.
Maka dibutuhkan sosok masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpin yang lebih baik di antara yang terbaik. Sebab, selemah-lemahnya iman demokrasi adalah datang ke TPS ketika Pemilu maupun Pilkada. Artinya, meskipun kondisi demokrasi yang memprihatinkan dengan segala gejolaknya, rakyat tetap harus berpartisipasi dan bersuara dengan nurani terdalamnya dalam menentukan pemimpinnya melalui TPS.
Abdul Warits, Mahasiswa Pendidikan Agama Islam
Program Pascasarjana Studi Pendidikan Kepesantrenan,
Instika, Guluk-Guluk Sumenep Madura.