Oleh : Aliya
Beberapa waktu lalu sejak disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi UU, jagat maya banjir dengan penolakan baik kritik secara halus ataupun terang-terangan. Hal ini disebabkan oleh mencuatnya beberapa pasal yang tidak pro terhadap hak-hak buruh dan dinilai publik belum bisa memperbaiki kondisi perekonomian bangsa selama beberapa tahun kedepan.
Keputusan ini sebenarnya sudah banyak dikecam berbagai pihak sejak Perppu tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat, 30 September 2022 lalu. Salah satunya ialah mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang menilai Jokowi telah melakukan Contempt of the Constitutional Court dan mengatakan “Presiden telah melakukan pelecehan atas putusan, dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK),”
Tidak hanya itu, melansir dari nasional.kompas.com dalam pertimbangan UU Cipta Kerja 2023, Mahkamah juga menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi. Bahkan dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Karena itu pembentukannya dicatat sebagai cacat formil dan materil.
Demonstrasi Digital Aktivis Kampus
“Tepat pukul 10.39 WIB, 21 Maret 2023, telah terjadi pengkhianatan berupa pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU oleh DPR,” ini adalah cuitan Twitter dari akun resmi BEM UI.
Selain itu kritik tajam melalui sosial media juga disampaikan oleh BEM UI dalam bentuk video pendek yang diposting ke media sosial seperti tiktok dan Instagram. Hal tersebut sempat menjadi perbincangan publik karena beberapa BEM dari universitas lain juga melakukan hal yang sama yaitu membuat video yang berisi foto Puan Maharani selaku ketua DPR RI dengan editan yang beragam, ada yang menjadi separuh tikus, ular, dan masih banyak lagi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes mereka terhadap kebijakan Ketua DPR RI dalam mengesahkan UU Ciptaker.
Berbagai pandangan publik mengapresiasi tindakan tersebut sebagai kegiatan selangkah lebih maju dari para aktivis millenial karena berani menyuarakan pendapat dalam bentuk yang berbeda meskipun ada beberapa komentar yang menyayangkan karena tidak sesuai dengan adab pelajar dan masuk pada perbuatan mencemarkan nama baik. Selain mengapresiasi, opini publik banyak yang mempertanyakan tujuan dari kritik media yang dilakukan oleh BEM beberapa kampus tersebut.
Namun meskipun begitu, dari hal ini seharusnya pemerintah khususnya Dewan Perwakilan Rakyat paham mengapa muncul gerakan yang tidak senada dari masyarakat apalagi para aktivis. Gerakan penolakan terhadap UU Ciptaker sudah dilakukan sejak tahun 2020 dalam demo besar-besaran diberbagai kota yang menolak UU Omnibus Law, kemudian beruntun dari tahun ke tahun hingga saat ini.
Terlepas dari berbagai polemik yang ada, harapan masyarakat adalah tindakan pemerintah yang peduli terhadap nasib rakyat kecil sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak hanya menjadi butir Pancasila yang dipahami secara makna tekstual namun terealisasi secara tindakan.
*Mahasiswi Tinggal di Sumenep