Imam al-Ghazali adalah seorang ulama yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusi al-Ghazali. Ia adalah tokoh Islam yang ahli dalam bidang sejarah Islam, teologi, filsafat dan tasawuf.[1]
Imam al-Ghazali lahir pada abad ke-5 Hijriah di kota Thus (450 H/ 1058 M). Sang ayah merupakan orang yang lemah lembut, membiasakan pola hidup sederhana dan selalu bekerja keras dengan tekun. Ayah al-Ghazali adalah orang yang suka mendatangi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman dari para ulama di masanya, dan suka membantu terhadap sesama.
Sang Ayah, termotivasi oleh keinginan memiliki keturunan yang paham ilmu agama. Beliau berusaha menghadiri dan menyukai kajian-kajian yang disampaikan para ulama seputar ilmu agama. Keinginan sang ayah akhirnya dikabulkan oleh Allah dengan diberikannya dua orang putra yang saleh, yaitu Abu Hamid al-Ghazali dan adiknya Ahmad al-Ghazali.[2]
Imam al-Ghazali telah dikenal sebagai sosok yang sangat cinta terhadap ilmu sejak kecil, hal ini disampaikan oleh al-Ghazali sendiri: “Sesungguhnya kehausan untuk menyelami hakikat segala sesuatu merupakan kebiasaan sejak dini. Sifat ini merupakan fitrah yang dikaruniakan oleh Allah kepadaku, bukan pilihan atau karena usahaku sendiri. Sehingga aku terbebas dari segala taqlid dan kepercayaan warisan, sementara usiaku masih muda.” [3]
Imam al-Ghazali pertama kali mendapatkan pendidikan dari keluarganya sendiri melalui sang ayah, seperti belajar kaidah bahasa, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya. Di samping itu, al-Ghazali juga belajar ke pendidikan tingkat madrasah di kota Thus, seperti belajar ilmu fiqh, beragam riwayat dan kehidupan spiritual ulama, memahami dan menghafal syair-syair tentang cinta kepada Allah (mahabbah), belajar tafsir al-Qur’an, hadis Nabi dan lain-lain.[4]
Tonton juga: Bismillahirohmanirrohim, Launching “Duta Damai Santri Jawa Timur”
Rihlah al-Ghazali
Sekitar usia 15 tahun, al-Ghazali melanjutkan pendidikannya ke Mazardaran, Jurjan selama 2 tahun. Bertepatan pada usianya yang ke 20 tahun, al-Ghazali kemudian melanjutkan pendidikan ke madrasah Nizamiyah Naisabur, ia berguru pada tokoh familiar, yaitu Imam al-Haramain atau al-Juwaini al-Haramain hingga mencapai usia 28 tahun.[5]
Di samping belajar tentang teologi, ushul fiqih, ilmu logika, filsafat, dan hukum, di Naisabur inilah al-Ghazali mengembangkan potensi dan kecerdasannya. Ia juga belajar tasawuf kepada Abu Ali al-Farmadi, tokoh sufi terkenal asal Thus, murid dari tokoh familiar Naisabur, Imam al-Qusyairi.[6]
Sebelum al-Juwaini wafat, al-Ghazali diperkenalkan kepada Nizham al-Mulk, salah seorang Menteri dan pendiri madrasah al-Nizhamiyah. Dengan kecakapan dan kepintaran yang dimiliki al-Ghazali, ia mendapat kehormatan dan dikenal luas oleh masayarakat sebagai ulama dan cendekiawan.
Bertepatan pada tahun 484 H/ 1091 M, akhirnya al-Ghazali diberi penganugerahan sebagai Guru Besar di Universitas Nizamiyah oleh Nizham al-Muluk.[7]
Baca juga: Awal Munculnya Kelompok Radikal dalam Sejarah Umat Islam
[1] Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 25.
[2] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, terj.Ibnu Ibrahim Ba’adillah, (Jakarta: Republika, 2011), Jilid I, h. 7-8.
[3] Imam al-Ghazali, Al-Munqidz Min Al-Dhalal, terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), h. 107.
[4] Eko Zulfikar, “Relasi Mahabbah Menurut QS. Ali ‘Imran [3]: 31 dengan Pancasila Sebagai Ideologi Negara: Studi Pemikiran Imam al-Ghazali dalam Kitab Mukasyafat al-Qulub”, EAIC: Esoterik Annual International Conference, Vol. 1, No. 1, 2022, h. 202-203.
[5] Ahmad Zaini, “Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali”, Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, Vol. 2, No. 1, 2016, h. 151.
[6] Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlurrahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik Kontemporer (Yogyakarta: Islamika, 2004), h. 36.
[7] Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali Keraguan adalah Awal Keyakinan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2004), h. 15.
Rihlah al-Ghazali dan Penganugerahan Guru Besar dari Universitas Nizamiyah
Rihlah al-Ghazali dan Penganugerahan Guru Besar dari Universitas Nizamiyah