Oleh: Abdul Warits
Merekontruksi karakter masyarakat Indonesia memang tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan beberapa sosialisasi dan inovasi untuk memberikan kesadaran kolektif dalam dirinya. Kesadaran kolektif dalam membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya memang tidak cukup dibuatkan jargon-jargon yang seringkali kita lihat di pelbagai tempat umum. Akan tetapi, membutuhkan ajakan dalam bentuk suara-suara yang menyadarkan pentingnya masyarakat dalam membuang sampah pada tempat yang telah ditentukan agar sampah-sampah tersebut bisa terdeteksi dan bisa dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Menurut Lawrence[1], ada empat asumsi pokok dalam ekologi manusia. Pertama, semua organisme memberikan dampak terhadap lingkungannya, baik anorganik maupun organik. Organnisme tersebut merupakan bagian dari suatu sistem ekologis, keberadaanya juga memengaruhi organisme lainnya. Interaksi antara organisme dan lingkungannya memengaruhi volume dan kualitas sumber daya yang ada, kelautan atau limbah, dan penciptaan sumber daya baru. Karenanya, tempat sampah sebagai bagian dari sebuah sistem dan perangkat ekologi memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan serta dalam rangka mendukung kerja manusia dalam membuang sampah pada tempatnya.
Prinsip kedua, ekosistem manusia bersifat terbuka. Artinya ekosistem dipengaruhi oleh faktor eksternal, baik yang sifatnya ekobiologis maupun sosial budaya. Terkait dengan prinsip ini, sulit memahami anggapan ekosistem manusia bersifat otonom dan transenden. Perubahan di dalam dan di luar ekosistem buknalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pemilihan antara ‘dalam’ dan ‘luar’ di sini hanya dalam arti analisis, bukan ontologis. Pada dasarnya tidak ada yang terpisah dari ekosistem manusia. Maka, simbiosis mutualisme dari hubungan manusia, tempat sampah dan sampah akan menjadi budaya masyarakat Indonesia di era yang dipenuhi dengan kepungan modernisasi saat ini. Produksi tempat sampah cerdas berbasis digital ini akan menjadi support ekosistem budaya dalam membentuk karakter masyarakat untuk membuang sampah kepada tempatnya.
Prinsip ketiga, manusia dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidup biologisnya menciptakan dan mengubah daya atau energi dari lingkungannya menggunakan materi, energi dan sistem pengetahuan yang berada dalam konteks kehidupannya sebagai makhluk sosial. Semua ini berada dalam konteks keseimbangan dan keberlanjutan kedua sisi ekosistem. Ketimpangan proses ekologis dalam proses sosial akan berujung pada ketidakseimbangan, baik dalam hubungan antarmanusia maupun manusia dengan lingkungannya. Berbagai akibat negatif timbul dari ketidakseimbangan antara proses sosial dan ekologis itu, seperti perubahan iklim, penurunan lapisan ozon, pengurangan keanekaragaman hayati, banjir, kekeringan dan berbagai persoalan lingkungan lainnya. Peran vital masyarakat Indonesia dengan produksi ini akan sangat menjadi pertimbangan penting disamping bisa mengubah daya dan energi dan memiliki dampak yang signifikan dalam memfilter tempat sampah juga bisa dimanfaatkan dalam keseimbangan hidup dan kemaslahatan umat.
Prinsip keempat, manusia dibedakan dengan makhluk hidup lainnya berdasarkan kemampuannya dalam mengatur, merekayasa dan mengendalikan lingkungan alamnya. Manusia mempunyai mekanisme yang memungkinkan untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Berbeda dari organisme lain, mekanisme adaptasi manusia tidak bersifat biologis melalui mutasi gen, tetapi kultural melalui mutasi perilaku. Pengendalian manusia dengan rancangan ini bisa memfilter dan mengendalikan lingkungan serta alam agar teratur dan terstuktur serta bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
M.H. Ainun Najib[2], pesantren memiliki Tri Dharma yang dijunjung tinggi. Pertama, keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Kedua, pengembangan keilmuan yang bermanfaat. Dalam hal ini sebagaimana yang telah disadari seksama bahwa pesantren memiliki karakter yang terbuka, sehingga peranannya akan selalu menempati posisi terpenting di tengah-tengah kehidupan karena bekal ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para santrinya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai seorang mahasiswa-santri, dampak kualitatif ini terhadap kehidupan masyarakat menjadi pengembangan keilmuan yang sangat berharga terutama di lingkungan sampah yang seringkali berkeliaran. Karena salah satu tugas seorang santri adalah menjadi seorang munzirul qaum yaitu orang yang bisa mengajak masyarakat ke arah yang lebih bermartabat.
Ketiga, pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. Adalah satu keniscayaan bagi pesantren, yang menjadikan pengabdian sebagai upaya yang dilakukan untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan semesta. Ilmu yang dikembangkan di pesantren ini pangkalnya tetap bermuara pada satu tujuan, yakni diraihnya barokah, sehingga kehidupan masyarakat akan terus bergerak ke arah yang lebih baik. Produksi tempat sampah cerdas ini selain bisa diterapkan di lingkungan pesantren sebagai upaya penyadaran terhadap para tamu dan wali santri saat berkunjung ke pesantren agar senantiasa memberikan perhatian lebih terhadap persoalan kebersihan dan lingkungan, khusunya dalam mengendalikan sampah-sampah agar tidak menjadi lingkungan pessantren yang kumuh dan sampah tersebut tidak bisa menjadi produksi kearah yang lebih baik.
Daftar Referensi
[1] Prof. Oekan S. Abdoellah, Ph.D., Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan (Jakarta: PT Gramedia, 2017), 17.
[2] Prof. Dr. Abu Yasid, MA, LL.M., dkk. Paradigma Baru Pesantren Menuju Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), 253