Oleh: Miftah KH.
Hari Santri Nasional (HSN) bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga momen penting untuk merenungkan kontribusi santri dalam sejarah dan pembangunan bangsa. Istilah “santri” memiliki akar sejarah yang dalam, sering kali merujuk kepada mereka yang belajar di pesantren, tempat di mana tradisi keilmuan Islam dipelajari dan diwariskan.
Asal usul istilah “santri” sendiri memiliki makna yang mendalam. Kata santri terdiri dari empat huruf: sin, nun, ta’, dan ro’. Menurut KH Abdullah Dimyati, ulama asal Pandeglang, Banten, huruf-huruf tersebut mengandung makna tersendiri. Huruf sin merujuk pada santrul al ‘awroh, yang berarti menutup aurat; huruf nun berasal dari istilah na’ibul ulama, yang berarti “wakil dari ulama”; huruf ta’ dari tarkul al ma’ashi, yang berarti “meninggalkan kemaksiatan”; dan huruf ro dari ra’isul ummah, alias “pemimpin umat”.
Zaman telah berubah, dan santri pun harus mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman. Santri adalah penopang bangsa yang perannya tidak dapat dilupakan dalam perjalanan sejarah. Meskipun kontribusi mereka sering kali terabaikan dalam buku-buku sekolah, peran santri sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, perkembangan zaman yang pesat ini juga membawa dampak negatif, seperti dekadensi moral yang merusak nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan kekerasan, pembunuhan, dan korupsi yang merajalela menjadi tantangan serius yang harus dihadapi.
Dalam konteks ini, santri memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi agen perubahan (agent of change) di era globalisasi. Santri sering kali dipandang sebelah mata sebagai kelompok yang tradisional dan kurang terdidik. Namun, kenyataannya, banyak santri yang menunjukkan prestasi luar biasa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya, baru-baru ini, tim santri dari berbagai pesantren di Indonesia berhasil meraih penghargaan di kompetisi sains dan teknologi tingkat internasional, menunjukkan kemampuan mereka dalam inovasi dan penelitian. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa santri tidak kalah dengan generasi lainnya.
Santri diharapkan tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga ilmu umum, Santri harus mampu mengamalkan ilmu yang diperoleh, baik sebagai kiai, pejabat, insinyur, pengusaha, dokter, maupun profesi lainnya. Dalam menghadapi tantangan zaman, santri harus mampu menjadi subyek dalam berbagai bidang kehidupan.
Lebih lanjut, di tengah munculnya gerakan transnasional yang membawa ideologi ekstrem, santri harus berperan sebagai penjaga ideologi bangsa. Mereka perlu menghadang radikalisme yang merusak citra Islam dan NKRI. Santri lahir dari bumi Nusantara dan harus berjuang untuk menjaga Pancasila sebagai ideologi yang mampu mempersatukan kemajemukan bangsa. Para ulama terdahulu, seperti Mbah Hasim As’ari, telah menerima Indonesia sebagai negara dengan integrasi antara agama dan budaya. Santri, sebagai bagian dari warisan ini, memiliki kewajiban untuk menjaga keberagaman dan toleransi.
Mari kita jadikan HSN sebagai momentum untuk memperkuat komitmen santri dalam mengembangkan keterampilan kepemimpinan. Dengan tekad dan semangat “Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan”, santri dapat menjadi pemimpin yang tidak hanya menjaga nilai-nilai Islam, tetapi juga memajukan bangsa ke arah yang lebih baik. Selamat Hari Santri 2024!
*Merupakan mahasiswa santri di Ponpes Annuqayah daerah Lubangsa Sumenep Madura.