Oleh: Abdul Warits
Radikalisme dan terorisme merupakan dua ancaman besar bagi stabilitas global. Dalam dekade terakhir, perhatian dunia mulai tertuju pada peran perempuan dalam jaringan radikal dan aksi terorisme.
Secara tradisional, terorisme sering kali dianggap sebagai domain laki-laki, tetapi kini keterlibatan perempuan dalam aksi kekerasan ini semakin meningkat. Fenomena ini memunculkan banyak pertanyaan terkait peran perempuan dalam gerakan radikal, faktor-faktor yang mendorong keterlibatan mereka, dan dampak sosial yang ditimbulkan.
Radikalisme dan Perempuan
Radikalisme adalah sikap atau ideologi yang menganjurkan perubahan mendasar secara cepat, seringkali dengan cara-cara ekstrem, dalam tatanan politik, sosial, atau keagamaan. Dalam konteks radikalisme agama, kelompok-kelompok radikal seringkali menggunakan tafsir agama yang sempit dan cenderung membenarkan kekerasan untuk mencapai tujuan politik atau ideologis mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat peningkatan jumlah perempuan yang terlibat dalam gerakan radikal, khususnya yang terkait dengan ekstremisme agama. Kelompok-kelompok seperti ISIS telah berhasil merekrut perempuan dari berbagai belahan dunia dengan menggunakan berbagai narasi, termasuk janji kehidupan yang lebih baik di bawah kekhalifahan, peran yang lebih besar dalam jihad, atau kesempatan untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan norma-norma agama yang lebih ketat.
Selain itu, perempuan seringkali direkrut untuk menjalankan peran-peran yang dianggap lebih “aman” oleh kelompok teroris, seperti penyebaran propaganda, mendidik generasi baru jihadis, atau bahkan dalam beberapa kasus, sebagai pelaku bom bunuh diri.
Faktor-faktor yang mendorong perempuan untuk terlibat dalam radikalisme bervariasi. Beberapa perempuan merasa termarginalisasi oleh struktur sosial dan politik di negara asal mereka, yang mendorong mereka mencari alternatif yang lebih sesuai dengan identitas atau keyakinan mereka. Selain itu, faktor-faktor seperti kurangnya akses pendidikan, kemiskinan, trauma masa lalu, atau bahkan keinginan untuk membalas dendam atas kekerasan yang dialami oleh anggota keluarga mereka juga dapat menjadi pemicu.
Terorisme dan Perempuan
Perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme seringkali dipandang sebagai anomali, karena mereka bertentangan dengan stereotip tradisional tentang pelaku kekerasan. Namun, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme sebenarnya bukanlah fenomena baru. Sejarah telah mencatat bahwa perempuan pernah memainkan peran penting dalam berbagai gerakan teroris, seperti kelompok separatis Tamil Tigers di Sri Lanka atau kelompok Baader-Meinhof di Jerman.
Dalam konteks terorisme modern, kelompok-kelompok seperti ISIS, Al-Qaeda, dan Boko Haram telah memanfaatkan perempuan tidak hanya sebagai anggota pendukung, tetapi juga sebagai pelaku aksi teror.
Dalam banyak kasus, perempuan dianggap memiliki keuntungan strategis, karena mereka cenderung tidak dicurigai oleh otoritas keamanan. Perempuan juga sering dimanfaatkan dalam propaganda kelompok teroris, di mana mereka digambarkan sebagai “pahlawan” yang berkorban demi agama dan ideologi mereka.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penggunaan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri. Di beberapa negara, perempuan telah menjadi pelaku serangan bunuh diri yang mematikan. Hal ini bukan hanya menunjukkan peningkatan peran perempuan dalam jaringan terorisme, tetapi juga mengungkapkan strategi baru yang digunakan oleh kelompok teroris dalam mencapai tujuan mereka.
Dampak Sosial dan Upaya Penanggulangan
Keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan terorisme membawa dampak sosial yang signifikan, baik bagi komunitas mereka maupun bagi upaya penanggulangan terorisme secara global.
Perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme seringkali menjadi subjek stigmatisasi, baik oleh komunitas mereka maupun oleh masyarakat luas. Mereka dianggap sebagai “pengkhianat” atau “pelaku kekerasan,” yang seringkali membuat mereka dan keluarga mereka terisolasi dari lingkungan sosial mereka.
Upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme pada perempuan memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pendidikan dan pemberdayaan perempuan menjadi salah satu kunci utama dalam upaya ini. Dengan memberikan akses pendidikan yang lebih baik dan kesempatan ekonomi yang setara, perempuan dapat lebih terlibat dalam pembangunan masyarakat yang damai dan inklusif. Selain itu, program-program deradikalisasi yang spesifik untuk perempuan juga perlu dikembangkan, dengan pendekatan yang lebih sensitif terhadap kebutuhan psikologis dan sosial mereka.
Pemerintah dan organisasi internasional juga harus berperan aktif dalam menciptakan narasi tandingan yang dapat melawan propaganda ekstremis. Penggunaan media sosial dan platform digital untuk menyebarkan pesan-pesan anti-radikalisme serta mendukung komunitas perempuan yang menjadi korban atau rentan terhadap perekrutan radikal sangat penting dalam memutus rantai radikalisasi.
Oleh karena itu, radikalisme dan terorisme pada perempuan adalah fenomena yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong keterlibatan mereka.
Meskipun jumlah perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme masih relatif kecil dibandingkan dengan laki-laki, peningkatan peran mereka dalam jaringan radikal menunjukkan bahwa upaya penanggulangan harus mencakup perspektif gender. Pendidikan, pemberdayaan, dan program deradikalisasi yang khusus bagi perempuan menjadi langkah penting dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan aman.