Oleh; Moh Syaiful Bahri*
Soekarno hanya butuh sepuluh pemuda untuk mengguncang dunia. Di sini pemuda ditempatkan pada ruang ekslusif dibanding dengan orang tua.
Tatapi ingat, saya tidak hendak mengatakan orang tua “genesi tua” tidak penting dan perlu diistirahat di pojok peradaban, melainkan konteksnya adalah upaya untuk membentuk mental anak muda yang tangguh, pejuang dan tentu juga berani melawan penjajahan dan penindasan.
Namun, dalam era digital saat ini, di mana informasi tersebar begitu cepat, anak muda dibutuhkan lebih ekstra dan sat-set dalam merespon setiap perubahan yang ada, salah satunya hidup di ruang virtual. Pemahaman terhadap literasi media menjadi kunci dalam menjaga pemuda dari ancaman radikalisme.
Sayangnya, ketidakmampuan memilah informasi bisa membuat pemuda rentan terhadap paham-paham radikal yang menyebar melalui media sosial dan platform online lainnya.
Radikalisme sering kali memanfaatkan teknologi dan media untuk menyebarkan pandangan ekstrem serta merayu pemuda dengan narasi yang menyulut emosi.
Pemahaman terkait literasi media dalam mencegah radikalisme tak bisa diabaikan. Pendidikan mengenai cara memeriksa kebenaran suatu informasi, mengenali sumber yang dapat diandalkan, dan menghargai keragaman pandangan sangatlah krusial.
Dengan keterampilan ini, pemuda dapat memproses informasi secara kritis, menghindari terperangkap dalam persepsi sempit, dan menolak ajakan ekstremisme.
Fenomena radikalisme di kalangan remaja merupakan perhatian serius bagi masyarakat dan pemerintahan di berbagai belahan dunia. Radikalisme dapat diartikan sebagai paham atau ideologi ekstrem yang cenderung mendukung tindakan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Persoalan-persoalan yang berkelindan dalam ranah ini adalah:
Pertama, krisis identitas: Remaja yang merasa bingung atau merasa tidak diterima oleh masyarakat dapat rentan terhadap penerimaan kelompok radikal sebagai cara untuk merasa diakui dan memiliki identitas yang kuat.
Kedua, keterbatasan pendidikan: Ketidakmampuan mengakses pendidikan berkualitas dapat menyebabkan remaja menjadi lebih mudah dipengaruhi oleh propaganda radikal yang mereka temui di dunia maya. Ketiga ketidakstabilan emosional: Remaja cenderung mengalami fluktuasi emosi yang kuat. Kelompok radikal dapat memanfaatkan kerentanannya ini untuk merekrut mereka yang merasa terpinggirkan atau marah.
Keempat pengaruh lingkungan: Remaja yang tumbuh dalam lingkungan di mana pandangan radikal dianut atau dianggap sah, mungkin akan terpapar dan meresapkan pandangan tersebut.
Semakin derasnya informasi yang masuk ke dalam kehidupan sehari-hari melalui media internet maupun media sosial maka perlu adanya filter yang dilakukan untuk menanggulangi hal negatif yang masuk.
Hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan, terlebih lagi bagi remaja yang pada dasarnya lebih mudah dalam menerima informasi serta lebih sering menggunakan media internet maupun media sosial.
Upaya dalam menanggulangi masuknya pengaruh negatif dari adanya media internet dan media sosial ini dapat dilakukan dengan literasi media.
Literasi media menurut beberapa pakar yaitu pertama, menurut Ferrington menjelaskan pemahaman literasi media yaitu kemampuan dalam membaca teks film, televisi dan media visual lainnya yang diikuti oleh perkembangan media tersebut (Ferrington, 2019).
Selanjutnya menurut Silverblat bahwa literasi media yaitu kemampuan dalam mengakses, menganalisis dan menciptakan media masa berupa visual maupun cetak (Silverblatt, 2007).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa literasi media ini mengutamakan pada kritikalisasi dan analisis terhadap media yang kita baca.
Sehingga kita dapat menyaring beberapa informasi yang bersifat negatif maupun positif. Urgensi dalam literasi media ini yaitu agar kita tidak mudah terprovokasi oleh berita maupun informasi yang berisi hoaks.
Literasi media ini juga salah satu strategi yang dapat digunakan sebagai upaya menangkal ideologi radikal dari modus propaganda media sosial dan media internet.
Kuatnya motif dalam mencari dan berbagi informasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan ideologi membuat pengguna media internet dan media sosial seringkali tidak kritis atas sumber-sumber informasi rujukan.
Anak muda sebagi agen of change hadir dan berdiri di ruang virtual tidak hanya sebagai konsumen. Apalagi ikut-ikutan arus paham radikal yang mencederai nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.
Ia harus mampu membuat kontens dan sebisa mungkin merespon wacana keagamaan dan keindonesiaan secara argumentatif dan berwawasan luas.
Sehingga menghasilkan ruang media sosial yang tidak hanya caci maki, pertengkaran dan hal-hal yang berbauh radikal. Anak muda dengan segala persoalannya perlu bangkit mengambil bagian dalam memungkul paham-paham intoleran di ruang virtual.
*Tim Blogger Regional Duta Damai Daerah Istimewa Yogyakarta