Oleh: Tsabit Habibi
Gerakan radikal dalam membela Tuhan dan agama menjadi aktivitas yang terus berulang dalam sejarah manusia. Sejak manusia mengenal agama. Kebenaran agamis dan iman akan Tuhan menjadi bahan bakar bagi aneka gerakan ini. Ada dua cara dalam memandang hal ini, yakni secara positif dan negatif.
Secara positif, manusia dengan gairah ini hendak mengukuhkan adanya otoritas Allah yang telah diyakininya. Secara negatif, aneka semangat semacam ini kadang kala berbenturan keras dengan aliran lain, yang kerap kali memunculkan rasa fanatisme, apologisme, bahkan terorisme yang paling keras sekalipun. Pencarian otentisitas keagamaan yang sangat bersemangat pada gilirannya ternyata cenderung berujung pada meningkatnya perjumpaan secara keras dengan pihak lain.
Haedar Nashir dalam disertasinya yang berjudul : Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2007) mengatakan bahwa ada beberapa kelompok di Indonesia yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal ketika menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama, kelompok yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntutan hukum agama. Kedua, kelompok yang tampil dengan cirri doktriner dengan cara memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok yang tampil dengan cara militant yang berhaluan keras, bahkan tak segana melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan bersikulah ingin menjadikan syariah sebagai penggantinaya.
Paham radikalisme yang selalu digerakkan dalam berbagai momentum, dan tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan pihak-pihak lain, teruma kelompok ektrem yang keberadaannya masih kecil tetapi suaranya sangat berisik (Noisy minority). Ketika radikalisme agama dijadikan sebagai wadah pergerakan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, sementara barisan mereka dilingkupi oleh ambisi kekuasaan dan politik, bukan tidak mungkin segala cara hingga yang paling ektrem akan dilakukan, bahkan dibingkai dalam berbagai aksi yang berjilid-jilid untuk menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap berseberangan.
Iman akan Allah memegang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Kepercayaan akan kebesaran Tuhan memang selayaknya menjadi pendorong bagi makin mekarnya ketakwaan seseorang. Hal ini setidaknya terjadi dalam sejarah Gereja. Perang Salib dan aneka perang bernuansa agama menjadi penanda bagi perlunya membela kepentingan Allah di dunia. agama harus di bela, apapun resikonya. Perang dan membunuh kadangkala harus dikerjakan jika memang itu jalan satu-satunya. Barang siapa menodai agama, dia harus dihukum berat, bahkan mati jika perlu. Orang sehebat Galileo Galilei pun harus mengalami eksekusi ketika dituduh telah menista agama.
Membela agama dan pelbagai ajarannya sebenarnya sudah dilakukan pula oleh kaum Farisi. Mereka merasa begitu mencintai Allah dan adat istiadat Yahudi. Nilai-nilai agama yang telah diyakini selama berabad-abad dan termasuk dalam Taurat harus di bela mati- matian. Orang Yahudi sejati bagi mereka adalah mereka yang menjalankan Taurat. Barangsiapa menista Taurat. Barangsiapa menista Taurat harus dihukum, bahkan orang yang mengaku sebagai Anak Allah sekalipun. Yesus harus disalib karena telah “mengobrak-abrik” praktek suci agama Yahudi. Agama bagi mereka, sekali lagi, harus dibela! Di titik ini muncul pertanyaan besar, yaitu: “Apakah agama harus dibela sedemikian rupa? Apakah Tuhan yang mahasempurna membutuhkan pembelaan yang maharapuh?”
Teologi dari semua agama mengatakan bahwa agama mereka sendirilah yang paling benar, dan yang lain salah atau menyimpang. Persis yang dikatakan oleh kaum teroris: “Kamilah yang paling benar dalam menjalankan ibadah, dan yang lain (penentang kami) adalah kafir, sehingga sah untuk dilenyapkan!” Di titik lain inilah Charles Kimball mengatakan “when religions become evil”. Kimball memberi dua tanda yang menjadi penyebab mengapa agama bisa menjadi jahat: pertama, adanya klaim-klaim kebenaran. Klaim atas kebenaran ini menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi.
Perbedaan penafsiran, apalagi perbedaan dalam pemahaman keimanan, mengakibatkan orang-orang yang berlawanan dicap sebagai sesat dan kafir. Kedua, ada semangat misionarisme yang militan dengan menggunakan segala macam cara (bahkan yang keji sekalipun) untuk menyelamatkan “orang kafir yang masih berlumur dosa.” Orang lain yang tidak sepaham dengannya lalu dianggap sebagai pendosa yang harus ditobatkan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kita kepada kesadaran yang plaing luhur dalam jiwa manusia, tetapi anehnya hampir tidak ada satu agama pun yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai kekerasan, perang aniaya, tirani, dan penindasan akan kebenaran.
Manusia terlalu mengira syarat dan hukum agama adalah tempat menyanangkan bagi kehadiran Tuhan di dunia. manusia mengira kehebatan pusat-pusat keagamaan adalah tempat-tempat yang disukai oleh Tuhan. Yang lebih menyesakkan lagi, manusia mengira fanatisme, radikalisme, jihad dan yang semacamnya identik dengan heroism kepada Tuhan. Aktivitas egositik pribadi, golongan, maupun kelompok yang kita bungkus dengan aneka alasan suci, bahkan aneka ayat suci seakan-akan menyenangkan Tuhan. mengapa kita tidak pernah bertanya apakah Tuhan berkenan dan menyukai segala dan tindakan tersebut?
Ubi caritas Deus ibi ets (di mana ada cinta, disitu Tuhan hadir)! Hanya di mana ada cinta, disitu Tuhan hadir. Tuhan juga tidak meminta persembahan. Juga tidak segala macam bentuk korban bakaran. Juga tidak meminta kata-kata indah dalam doa yang keluar dari mulut kita (sebab mulut kita berbau busuk lantaran seringnya mencerca, memvonis, menjelek- jelekkan orang lain dan memprovokasi orang lain, mengasut orang lain untuk melakukan aneka tindakan kekerasan), segala bentuk aktivitas heroisme dangkal berupa tindakan perang, terorisme, dan aneka macam sikap pembelaan dengan di bungkus istilah-istilah suci, seperti :jihad,” “martir,” dan seterusnya. Rasanya, apabila konsekuensi dari semuanya itu berupa kesengsaraan, perseteruan, perpecahan, penderitaan, adalah kehancuran yang jauh dari karakter manusia-manusia yang beradab, sulit untuk, memahami bahwa Tuhan berkenan dengan semua aktivitas heroic tersebut. juga bahkan apabila segala aktivitas heroic itu memiliki justifikasi ayat-ayat Kitab Suci. Ubi caritas Deus ibi est. Tuhan meminta cinta! hanya cinta. Sebab hanya cinta yang melestarikan hidup manusia.