Oleh: Abdul Warits
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh tahun, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.
Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -selama perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
3 Serangkai: Mbah Kholil, Mbah Sholeh Darat dan Syekh Nawawi Al Bantani
Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul niat bersama rekan-rekannya, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Shaleh as-Samarani (Kiai Saleh Darat, Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda.
Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Sepulang dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli fiqh dan tarekat. Bahkan pada akhirnya ia dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Ia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal al-Qur’an 30 Juz).
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya.
Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat Alun-Alun Kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang. Mbah Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H atau 1925 Masehi.