Oleh : Abdul Warits
Pada hari Rabu, 12 Februari 2020 sampai hari Senin, 17 Februari 2020, saya mengikuti acara bertajuk “Kongres Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)” dengan tema “Memperkokoh Militansi Pers Mahasiswa di bawah Tekanan Oligarki” di Vihara Avolikestara, Polagan, Galis, Pamekasan, Madura.
Kebetulan saya termasuk salah satu panitia karena seluruh pers mahasiswa yang ada di pulau Madura menjadi panitia pada acara tersebut. Lebih tepatnya, Madura menjadi tuan rumah pada perhelatan nasional itu.
Ada berbagai pemandangan menarik bahwa ruh Bhinneka Tunggal Ika negara Indonesia benar-benar saya rasakan diciptakan dari acara yang berdurasi selama seminggu tersebut. Ada sikap militansi, toleransi dan independensi yang diabadikan dalam momen tersebut. Sebuah kenangan dalam menghidupkan harmoni di kalangan pemuda, terutama mahasiswa di seluruh Indonesia.
Pertama, ada suara-suara anjing yang melolong di setiap detiknya. Anjing tersebut ada yang dikurung di dalam sangkar dan ada yang dibiarkan begitu saja berkeliaran di sekitar Vihara. Saya pikir—sebagaimana anjing yang dikurung—perdamaian tidak musti selalu diinpirasi dari lingkungan keluarga.
Dalam konteks terkungkung, manusia akan mengalami tekanan dan doktrin-doktrin. Manusia akan mendapatkan gangguan dan ujian perdamaian bagi dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Hidup yang terlalu ortodoks, terkadang tidak baik untuk dikonsumsi dalam menciptakan bhinneka tunggal ika di negara Indonesia yang multikultur.
Di Indonesia, jika tidak ada komunikasi yang baik dan signifikan dari berbagai pulau yang menghubungkan rasa kemanusiaan, maka Indonesia raya tentu tidak mungkin akan tercipta dan harmoni hingga saat ini. Karena apapun yang terkungkung menimbulkan permasalahan internal meskipun barangkali hal tersebut sangat bisa untuk diatasi.
Permasalahan ini terjadi karena adanya doktrin yang berlebihan dalam perasaannya sehingga banyak yang melampiaskannya dengan berbagai cara; mengolok-olok orang lain diluar dirinya, mengatakan kafir, bid’ah dan lain sebagainya—sebagaimana anjing yang melolong karena mendapat gangguan dari orang lain. Maka, perdamaian bisa diciptakan jika kita bisa berinteraksi dengan orang lain secara bijaksana.
Maka, seharusnya manusia Indonesia harus mempunyai ikatan persaudaran atas nama kemanusiaan-kebangsaan dalam menciptakan perdamaian dan persatuan. Dalam konteks ini, anjing yang melolong, manusia Indonesia tidak seharusnya mengaku dirinya sebagai serigala si raja rimba; yang hanya mau berdiri sendiri sebagai raja hutan yang menguasai seluruh wilayah yang ada di Indonesia.
Akan tetapi, manusia Indonesia harus meniru watak anjing yang berkumpul dalam setiap keadaan apapun yang—jika ada pihak yang ingin menyerangnya dari luar—bisa diselesaikan secara bersama sehingga membentuk satu kekuatan penting dalam membangun gerakan kebangsaan.
Saya sejenak berpikir melihat fenomena yang terjadi ini. Bisa jadi, hubungan berupa perkawinan, kekeluargaan, keorganisasian, dan lainnya yang dilakukan antar etnis, suku, dan agama di Indonesia adalah bentuk menjadi Indonesia raya yang sebenarnya. Setiap dari diri kita, tentu tidak bisa memungkiri bahwa cinta akan mengalahkan segalanya.
Setiap perbuatan yang didasarkan pada perasaan cinta dan kasih sayang maka segalanya akan menembus apapun. Jika kita memiliki perasaan cinta maka otomatis akan bersikap setia. Setia itu bisa diwujudkan dengan rasa militansi dan dedikasi kepada bangsa ini dengan memahami satu sama lain sebagai kekuatan.
Sebagaimana anjing yang dikurung—ancaman dari pihak luar akan mengakibatkan perdamaian terancam, maka konsolidasi antar negara itu penting dan komunikasi yang baik dalam suatu tatanan negara kesatuan. Justru saya menemukan ada anjing yang berkeliaran setiap pagi tidak pernah mengancam keberadaan orang yang berlalulalang di sekitarnya. Saya kira—apapun itu—orang yang terkungkung kadang pemahamannya terlalu picik akibatnya apa yang ada di depannya menjadi ancaman bagi dirinya sehingga jiwanya “fanatik” untuk melindungi kelompoknya sendiri semakin kentara.
Maka, dalam menciptakan perdamaian dan kebhinekaan, “komunikasi ganda yang kontekstual” dengan orang yang ada di dalam suatu negara apalagi masyarakat luar dan negara asing sangat diperlukan agar kita tidak terkejut dengan beragam perbedaan. Jangan menjadi katak dalam tempurung—karena semua yang dilihatnya dianggap gelap, padahal dunia tak selebar daun kelor. Kalau dunia dan pengetahuan kita gelap, maka dunia akan sempit. Tanpa adanya keharmonisan yang diciptakan dari beragam perbedaan.
Kedua, ada berbagai tamu yang datang dari seluruh daerah di Indonesia: dari Sabang hingga Merauke, dari kampus negeri hingga swasta, dari lintas agama, budaya, etnis datang ke tempat tersebut seakan-akan ingin menunjukan bahwa Bhinneka tunggal ika harus tetap dirawat kapanpun dan dimanapun.
Di sinilah, bentuk militansi sedang digalakkkan. Dalam rapat kepanitiaan, memang tidak dibolehkan untuk membawa atribut apapun ke dalam acara tersebut seperti ormek dan lainnya. Tentu saja—pikir saya ketika itu—ini tidak hanya menjaga “kebinekaan” negara Indonesia. Akan tetapi, sekali-kali tentu bisa diamati bahwa segala bentuk perpecahan memang seringkali ditimbulkan karena “fanatisme” yang berlebihan dari satu kelompok yang sengaja dikumpulkan, termasuk beragamnya etnis dan organisasi masyarakat (ormas) yang ada di negara Indonesia ini. Maka, wajar jika pers mahasiswa benar-benar menjaga “independensi” dan “militansi” sebagai wujud dalam merajut kebinekaan Indonesia ketika itu, lebih-lebih ini merawat perdamaian untuk negara Indonesia—dunia.
Memperkokoh Militansi Pers Mahasiswa dibawah Tekanan Oligarki adalah tema yang disuguhkan kepada seluruh peserta yang hadir. Menurut mas Kevin, pemateri dari Malang, sebenarnya pers mahasiswa harus menciptakan keramaian di tengah kesunyian yang ciptakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, independensi dan militansi pada nilai-nilai jurnalisme menjadi solusi dalam membangun perdamaian yang berkelanjutkan agar bisa mengawal pengetahuan masyarakat yang picik dan terlalu fanatik terbuka lebar menjadi pencerahan.
Dalam merajut perdamaian, memang perlu konsolidasi dan afiliasi. Akan tetapi, yang lebih penting dari itu semua adalah menjaga nilai-nilai “independensi pers” dan “militansi pers”. Jangan sampai pers ditinggalkan dan “digerayangi” nilainya sebab pers berkaitan dengan suara hati nurani yang menciptakan harmoni dalam berbagai kalangan. Kesimpulannya, sebagai seorang jurnalis tentu perlu banyak teman sebab harta yang ia miliki hanya teman di sekitarnya. Dari semua kalangan; dari pinggiran hingga elite pemerintah karena jurnalis akan mengantarkan pada jalan bhinneka tunggal ika yang sesungguhnya dan menjadi perantara penghubung dua golongan tersebut.
Sebagai Jurnalis, semua kalangan harus dijadikan sebagai kawan, bukan lawan. Meskipun, acara tersebut hanya berkumpul dalam satu acara Pehimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), tetapi sikap dan fenomena yang ditunjukkan di dalamnya sangat menghargai apa yang dicita-citakan dalam sila pancasila. Dengan komitmen seperti ini, sikap posesif masyarakat Indonesia menjadi sangat berharga dalam menciptakan keharmonisan kepada agama, bangsa dan negara. Sikap posesif tentu sangat berharga jika digunakan untuk bangsa Indonesia dengan beragam kekayaan dan kebergaman yang ada di dalamnya. Maka, cemburulah saat Indonesia berada dalam ancaman pudarnya rasa bhinneka tunggal ika.
*Editor santrikeren.id dan Duta Damai Santri Wilayah Jawa Timur.