Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 30 Mei 2024 00:01 WIB ·

Pesantren dan Moralitas Bangsa


 Pesantren dan Moralitas Bangsa Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Ditengah segala bentuk kecamuk kehidupan yang seringkali melancarkan sikap-sikap dehumanisasi, pengekangan dan belenggu diskriminasi pesantren tampil sebagai lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Kiprah pesantren sepanjang sejarah bangsa Indonesia amat begitu penting. Terbukti dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, kaum sarungan dan para kiai di pesantren ikut terlibat dalam melawan berbagai bentuk penjajahan di negeri ini.

Kaum sarungan adalah nama yang sering disandangkan pada santri-santri dipesantren. Hal ini, dilakukan atas landasan kebiasan busana para santri yang tak dapat dilepaskan dari sarung.  Sarung telah menjadi simbol tersendiri untuk menyatakan bahwa dirinya adalah santri. Sanntri yang paham tentang ilmu-ilmu keagamaan (Islam).

Hingga kini, pesantren menjadi elemen pendidikan yang berpengaruh dalam menghasilkan mutu dan kualitas peserta didik “yang sempurna” dalam mengabdi bagi bangsa dan agamanya. Lebih utamanya bagi penduduk pedesaan. Pesantren yang memiliki basis masyarakat pedesaan, membuatnya disebut sebagai lembaga pendidikan tradisionalis.

Selain dari pada itu, pesantren disebut “tradisional”, karena lembaga ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.[1] Karena itulah Nurcholish Madjid menyebut pesantren sebagai lembaga pendidikan indigenuous; produk budaya asli Indonesia. Menurut Nurcholish Madjid, lembaga serupa pesantren telah ada sejak zaman Hindu-Belanda di Indonesia. Dengan begitu, pesantren merupakan bentuk pengembangan dan pengislaman terhadap lembaga pendidikan yang sudah ada tersebut.[2]

Pesantren Berbeda dengan sekolah-sekolah formal (seperti SD, SMP, dan SMA) yang merupakan warisan kolonial.[3] Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam, tentu saja tidak hanya memfokuskan diri pada persoalan-persoalan eskatoligis saja. Namun lebih dari itu, pesantren juga memiliki paradigma pendidikan yang konstruktif. Dalam artian, tidak menjadikan sistem pendidikan di dalamnya sebagai wahana pembelajaran yang bersifat doktrinal, dogmatis dan kurang memberikan ruang gerak bagi peserta didik.

Pendapat ini, Wahid Hasyim menegaskan tujuan pendidikan yang ada dalam pesantren. Bahwa, pembelajaran di pesantren tidak hanya berdimensi ketuhanan, namun juga mesti bermanfaat untuk kemanusiaan. Dalam hal ini, tujuan pesantren adalah mencetak santri yang berkepribadian muslim dan bertaqwa kepada Allah serta memiliki ketrampilan sehingga santri dapat mandiri dan berkiprah pada masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.[4]

Oleh karena itu, tidak heran manakala pesantren selalu menitik-beratkan arah pendidikannya kepada kualitas moral dalam pribadi-pribadi santrinya. Gagasan moral harus dipahami sebagai konsepsi pengetahuan yang meniscayakan sisntesis teologi dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pola pendidikan tersebut, diupayakan dalam rangka menciptakan sebuah konstelasi kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin. Suatu kondisi sosial yang damai, tentram, saling menghargai, menghormati dan saling mengasihi dan menyayangi. Dalam konteks model pendidikan ini, menegaskan—sebagaimana Paulo Freire sebagai teoritikus pendidikan berkebangsaan Brazil—bahwa pendidikan harus memiliki orientasi luhur dalam memanusiakan manusia.

Pesantren dalam melakukan misi pendidikan yang memanusiakan manusia (humanisme) juga acapkali dilakukan melalui sistem kultural. Untuk menjadikan gagasan moral dapat bertahan lama dalam proses interaksi sosial. Sehingga, dalam implementasi pendidikan tersebut, tidak boleh ada model “kapitalisme pendidikan” atau “politisasi pendidikan”.

Pada akhirnya, pendidikan akan berhasil dalam mencetak insan akademis yang berwawasan holistik-integralistik dan berkepribadian kemanusiaan berlandaskan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa yang dalam konteks pendidikan Islam disebut sebagai “insan kamil”.[5]

Pesantren dalam melahirkan generasi dengan kualitas moral yang tinggi, membuat relasi pendidikan pesantren dan manusia sangat erat hingga tak dapat dipisahkan. Bahkan dapat diklaim sebagai satu kesatuan yang berbeda namun tak dapat dipisankan.

Dalam ketentuan ini, pendidikan pesantren memiliki nilai aksiologis sebagai penyadaran, untuk mampu mengenal, mengerti terhadap suatu situasi yang sedang terjadi di sekelilingnya. Selain dari pada itu, melalui pendidikan moral pesantren pula, manusia diharapkan dapat mampu mengetahui akan potensinya sendiri; yang bodoh, agar dapar berpikir untuk menjadi pintar. Sementara yang sedah pintar, ialah bagaimana ia mengembangkan potensi itu sendiri.

Pesantren memberikan ruang bagi peserta didik untuk membangun pribadinya dengan mandiri. Hal demikian dilakukan sebagai upaya agar dapat berekspresi dalam konteks pemikiran dan sikap dalam bertingkah. Karena kompleksitas yang tedapat dalam konsep moral pendidikan pesantren benar-benar memiliki orientasi yang konstuktif dalam mencapai kesadaran yang kolektif perihal humanisme.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis ke-Islam-an, adalah lembaga pendidikan yang kritis dalam menelaah kondisi sosial yang harus diperbaiki. Para santri yang belajar di dalamnya dididik sedemikian rupa agar siap turun kearena masyarakat nanti. Meletakkan santri sebagai subjek agar juga memiliki ruang untuk mengekspresikan sikap dan pikirannya.

Kerangka teoretik pendidikan moral dalam pesantren tentu (sebagaimana semestinya) lahir dari gagasan agama, wahyu dan proses kontekstualisasinyadalam tubuh Islam. Hal tersebut, termanifestasikan dalam pendidikan pesantren. Sehingga, melahirkan sebuah orientasi yang jelas dan tegas.

Dalam pengertian pendidikan moral pesantren, ia memiliki keluasan gagasan yang harus dijabarkan. Karena, moral yang dimaksud tidak hanya terbatas dalam pemahaman sikap etis dalam berkomunikasi, akan tetapi, juga sebagai satu bentuk pemahaman komprehensif dalam menentukan sikap hidup yang manusiawi.

 Daftar Pustaka 

[1]Lihat, Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 55

[2] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 3

[3]Paisun, “Pembaruan Pesantren Perspektif Wahid Hasyim” dalam http://pascasarjana.instika.ac.id/pembaruan-pesantren-perspektif-wahid-hasyim/

[4]Drs.H.Rohadi Abdul Fatah M. Ag., dkk., Rekontruksi Pesantren Masa Depan (Dari Tradisional, Modern, Hingga Post Modern). E-book. Hal., 101

[5]Umairo dan Zamroni, Pendidikan Pembebasam dalam Perspektif Barat dan Timur, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hal. 16-17

Artikel ini telah dibaca 4 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Dekadensi Moral Santri Masa Kini

2 Juni 2024 - 09:54 WIB

Sayyidah Maryam: Jejak Kesucian dan Keteguhan Iman Sang Perawan Suci Ibunda Almasih

1 Juni 2024 - 21:16 WIB

Tafsir Tentang Hutang Piutang QS. Al-Baqarah 282

31 Mei 2024 - 23:18 WIB

Qurban dan Aqiqah: Antara Tuntutan Syariat dan Praktik Sosial

31 Mei 2024 - 18:54 WIB

Makna dan Hikmah Ibadah Haji dalam Islam: Refleksi dari Al-Baqarah/2:197 dan Ali ‘Imran/3:96-97

31 Mei 2024 - 18:49 WIB

Kecemasan di Era Digital: dari Fear of Missing Out sampai Cuberbullying

31 Mei 2024 - 18:06 WIB

Trending di Suara Santri