Oleh : Abdul Warits*
Menjadi seorang Nyai adalah posisi terhormat di kalangan masyarakat Madura. Nyai adalah percontohan dan teladan bagi kaum perempuan Madura. Kedudukan dan derajatnya hampir sama dengan kiai ketika berada di tengah –tengah masyarakat: dihormati, disegani, disanjung, sebagaimana setara penghormatannya kepada seorang kiai. Bahkan, perempuan yang menjadi nyai ini justru bukan dari perempuan Madura asli tetapi mereka tetap menjadi sosok yang diperhitungkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.
Sedikit cerita, saya adalah alumni Pascasarjana Pendidikan Agama Islam Studi Kepesantrenan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Saya diajari oleh dua dosen perempuan yang kini menjadi “Nyai”. Uniknya, ia bukan perempuan asli Madura. Saya pun berinteraksi dan menimba ilmu kepada dua dosen perempuan yang statusnya sebagai “Nyai” tetapi bukan perempuan Madura asli ini.
Dosen saya ini bernama Dr. Tatik Hidayati. Beliau merupakan perempuan kelahiran Jawa tengah yang menikah dengan kiai di Madura. Sebagai seorang perempuan yang bukan asli Madura dan berstatus nyai, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tetap dihormati dan dijunjung tinggi, tanpa mengesampingkan perannya sebagai ibu rumah tangga dan tugas-tugas domestik lainnya.
Ibu Tatik Hidayati selain mengajar mahasiswa, ia sudah berhasil menerbitkan buku dengan Judul “Nyai Madura: Modal dan Patronase Perempuan Madura” yang diterbitkan oleh Diva Pres. Meskipun, bukan orang Madura asli, masyarakat Madura tetap mengapresiasi pencapaiannya terhadap karya yang sudah dihasilkannya.
Dari ini, kita bisa mengambil satu konklusi bahwa masyarakat Madura mengapresiasi keilmuan seseorang dengan baik. Meski Ibu Tatik adalah sosok nyai yang bukan “perempuan Madura asli”. Tetapi, dengan kapasitas keilmuan dan prestasinya di bidang akademik perempuan Madura patut merasa tersaingi. Tidak hanya menjadi teladan, tetapi juga harus menjadi sosok perempuan inspiratif yang bisa memberikan teladan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakatnya.
Dosen saya yang kedua adalah Dr. Ulya Fikriyati. Dosen saya ini berasal dari Kabupaten Tuban dan menikah dengan kiai Madura. Ia merupakan sosok penerjemah, penulis dan peneliti yang sangat handal dan karyanya sudah sering terpublikasi di jurnal-jurnal internasional. Tentu gelar Doktor bagi seorang perempuan tidak mudah melewatinya, akan tetapi sosok dua dosen perempuan ini menjadi bukti bahwa perempuan bisa menjadi orang yang bermanfaat kepada lingkungan sekitarnya, melebihi dari kebiasaan kodrat perempuan pada umumnya.
Ibu Ulya memiliki anak dan Ibu Tatik juga memiliki beberapa anak. Mereka sama-sama bergelar doktor yang bagi masyarakat Madura sudah sangat tabu dan menjadi inpiratif. Di tambah lagi, sosoknya merupakan seorang Nyai yang dihormati dan disegani di tengah-tengah masyarakat Madura. Otoritas dalam menyampaikan nilai kebenaran ilmu pengetahuan tentu menjadi peluang perempuan yang menjadi nyai lebih membumi dan diterima dengan lapang dada oleh masyarakatnya.
Kalau boleh bercerita tentang Madura, sosok Nyai di Madura sebenarnya bukan hanya semata-mata karena faktor gen (keturunan) dirinya adalah putri dari seorang kiai. Tetapi, karena dirinya bisa saja menjadi menantu seorang kiai atau lora (Gus) yang sangat dihormati sebagai penerus perjuangan kiai dan sesepuhnya di pesantren yang ada di Madura. Bahkan, ada sebagian perempuan yang menjadi nyai di Madura bukan bagian dari “Perempuan Madura asli” tetapi masyarakat luar Madura tetapi mereka tetap dihormati sebagaimana orang Madura menghormati kiainya.
Masyarakat Madura banyak yang menghormati perempuan yang sudah berstatus sebagai nyai bukan karena ia memiliki keturunan asli dari keluarga kiai da asal tempat tinggalnya. Perempuan yang ditakdirkan menjadi nyai di Madura juga banyak yang berasal dari keluarga orang biasa, keluarga pengusaha, bangsawan, aktivis, akademisi dan lainnya. Tetapi, ketika ia berada di pulau Madura, ia semakin menjadi sosok yang kharismatik karena suaminya menjadi seorang kiai yang dihormati oleh masyarakat.
Dua kisah dosen saya ini menjadi salah satu representasi perempuan di tengah lingkungan sosial masyarakat Madura komplek dan banyaknya kasus nikah dini yang semakin merajalela. Dengan kehadiran keduanya menjadi salah satu inspirator kepada perempuan lainnya agar senantiasa menjadi perempuan yang tangguh mekipun berada di wilayah orang lain. Eksistensi perempuan selain harus diwujudkan dalam bentuk karya dan produktivitas, juga harus dibuktikan dengan bagaimana mengubah pandangan dan stereotip masyarakat melalui keteladanan dan pembuktian agar eksistensi perempuan tidak dianggap hal yang sepele.
Masyarakat Madura menempatkan sosok nyai dengan kesetaraan. Tanpa mengesampingkan peranannya sebagai teladan masyarakat, perempuan yang sudah berstatus nyai di Madura menjadi tetap diperhitungkan di tengah-tengah masyarakat apalagi menjadi sosok perempuan inpiratif yang keteladannya tidak hanya berhasil dalam mendidik masyarakat. Akan tetapi, perempuan tersebut sosok “ideal” percontohan masyarakat dalam bidang pendidikan dan kariernya.
Proses naturalisasi ini menjadi salah satu kekayaan bagaimana sosok nyai di Madura menjadi inspiratif dalam berbagai hal, terutama dari elemen pendidikan yang bisa memberikan inpirasi bagi lingkungan sekitarnya. Menjadi seorang yang produktif tanpa harus melanggar norma-norma agama dan budaya leluhur yang ada di Madura. Perempuan luar Madura yang menjadi nyai justru bukan golongan minoritas. Tetapi, menjadi sosok yang bisa melakukan pemberdayaan di tengah-tengah masyarakatnya.