Oleh : Abdul Warits*
Aku paling suka ketika hujan datang. Bukan gerimis yang acap kali mendatangkan gigil ke seluruh tubuh. Hujan lebih aku sukai dibanding gerimis yang selalu bertandang dengan sangat lama. Tanpa mengenal waktu. Gerimis hanya akan membuat kehangatan tubuhku luruh dalam kegaduhan. Seringkali gerimis mengundang hempasan angin di antara lambai dedaunan yang tenang. Bahkan, aku benci dengan gerimis, sebab angin yang diundangnya seringkali menumbangkan pepohonan sepanjang jalan.
Aku takut. Hari ini hujan hanya turun dengan begitu singkat ke permukaan bumi, selepas itu gerimis bertandang dengan ritmis yang mengkidungkan segenap keresahanku. Barangkali, jika gerimis bertandang bukan aku saja yang khawatir, bahkan orang-orang akan sangat malas untuk mengarungi hari dengan penuh riang dan gembira. Menurutku, gerimis lebih kejam dari pada hujan. Bayangkan, Aku yang terbiasa memulai kerja dengan semangat. Kini, seakan tidak mempunyai gairah dalam mengejar rahmat tuhan. Ya, hujan adalah rahmat tuhan. Bukan gerimis. Aku paling benci gerimis. Seperti peristiwa pagi ini, gerimis terus membunyikan tetesannya ke jalanan.
Pagi ini, gerimis kembali membasahi kotaku. Setelah beberapa detik yang lalu hujan lepas dalam genggaman langit. Ah, hujan. Mengapa tidak engkau yang datang saja ke kotaku. Apakah engkau sudah enggan melepas rindu ke kotaku. Atau kau hanya ingin singgah saja di kotaku.? Aku merindukanmu, hujan. Apa mungkin engkau sedang menghujani lahan petani di desa ?. Aku memintamu untuk sesekali menghujani kotaku. Meskipun jika kau bertandang ke kotaku, kau akan membuat kotaku menderita akibat air yang telah kau alirkagjkn pada sungai-sungai meluap menjelma banjir bandang. Tapi, untuk kali ini, aku berharap kau datang ke kotaku. Sungguh. Demi kekasihku. Apakah kau ingin mengabulkan permintaanku kali ini?
***
Aku duduk di halte bersama kekasihku, Kirana. Sejak tadi, gerimis membasahi sepanjang jalan Sudirman. Aku masih ragu. Mungkinkah aku akan berangkat melawan gerimis yang masih sangat deras menggigilkan badanku. Sementara, jalanan masih basah disertai aroma tak sedap dari kepulan asap knalpot para pengendara yang berlalulalang.
Kulihat Kirana kedinginan di sampingku. Kupakaikan jaket yang sedari tadi melindungiku. Kukenakan pada tubuhnya. Tangannya gemetar sambil memegangi beberapa buku mata kuliahnya hari ini. Anehnya, mulai tadi, sebelum gerimis bertandang ia hanya bungkam di hadapanku. Entah, apa yang terjadi dengan hatinya hari ini. Seperti yang kucermati; hatinya masih diselimuti mendung yang berarak mencipta kemungkinan-kemungkinan akan datangnya hujan. Padahal, aku tahu ia paling suka hujan. Begitupun denganku.
Andai saja hujan turun sangat deras, tanpa diperintahpun aku dan Kirana pasti akan berlarian ke halaman atau ke jalan raya. Menikmati tetesan hujan yang jatuh satu-satu dari gumpalan awan. Barangkali, karena hari ini gerimis, wajahnya tak lagi segirang ketika hujan datang. Aku melihat; rona wajahnya mengikuti sinar matahari yang tampak redup menyinari bumi hari ini. Barangkali, Aku lebih suka memanggilnya sebagai perempuan hujan. Sebab, kulum senyumnya telah menenggelamkan cinta pada jantungku. Terlalu banyak kenangan yang telah aku rangkai bersama Kirana ketika hujan. Hujan telah banyak memberiku pelajaran bahwa apa yang tercipta dari peristiwa sulit sekali untuk dilupakan. Hujan memang menakjubkan bagiku dan Kirana.
“Apa yang kau rasakan hari ini, Defan?” tiba-tiba ia melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup membuatku terheran-heran.
“Ya, biasa saja, Kirana. Dingin. Lebih dingin dari hujan” mataku fokus pada jalanan.
“Apakah kamu tidak merindukan, hujan ?” ia kembali bertanya.
“Ya, tentu saja. Aku sangat rindu hujan. Aku ingin selalu mengenang hujan bersamamu” jawabku. Sembari kutatap wajahnya.
“Tapi sayang, hari ini gerimis, bagaimana mungkin hujan akan datang jika angin masih kencang?” lanjutnya. Wajahnya kembali meredup seperti mendung di langit sana.
“Semoga saja. Tidak terjadi badai.” ucapku padanya. sembari diiringi lantunan amin yang diucapkannya dengan perlahan.
Dalam riuh hujan yang terus menghantam jalanan. Aku dan Kirana hanya termenung merekam segala peristiwa yang terjadi hari ini. Hujan telah memberkatiku dan Kirana untuk sejenak melepas lesat waktu yang terus berlalu mengejar usia. Tanpa tahu, hujan telah memberikanku banyak keajaiban hari ini.
“Lihat, Fan! gerimis telah berhenti.” Kirana mengagetkanku. Ia sedang merekam peristiwa hujan.
“Ah, kirana. Masih gerimis. Kalau kita berangkat akan Percuma saja. Toh, nantinya kita akan basah kuyup jika sudah sampai di kampus,” jawabku mematahkan kegirangannya. Lagi-lagi wajahnya kecewa. Barangkali ini karena gerimis.
Memang, gerimis mulai reda. Sebagian orang kembali dengan segala aktivitas yang akan dijalankan sebagaimana biasa. Hiruk pikuk kendaraan yang berdesakan memaksa kegaduhan kembali bertandang. Tapi, gerimis itu masih saja membasahi jalanan. Dasar! Gerimis. Tak mengerti pada apa yang sedang aku rasakan. Aku ingin sekali segera sampai di kampus. Tapi, apalah daya, gerimis yang jatuh satu-satu pada akhirnya akan tetap mengkuyupkan seluruh badanku. Apalagi, aku takut apabila Kirana sakit karena gerimis itu. Akhirnya, aku tetap memasang wajah mengeluh. Tak banyak yang aku perbuat. Selain hanya menunggu gerimis itu kembali reda.
Sebuah mobil Grand Livina berhenti di hadapanku. Perlahan kaca hitam mobil tersebut terbuka. Seorang lelaki dengan wajah tampan membuka kaca mata. Hitam pekat pula warnanya. Entah, aku heran siapa lelaki itu. Aku juga tidak pernah mengenal sebelumnya.
Lelaki itu turun dari mobilnya sembari menghampiri Kirana yang ada di sampingku. Sempat aku menaruh cemburu padanya. Namun, rasa tersebut kutahan karena mungkin ia adalah keluarga Kirana yang akan mengantarkannya ke kampus. Tak apalah aku disini saja. Menunggu gerimis reda. Asalkan Kirana sampai ke kampus. Aku tak ingin ia terus menerus merana. Karena gerimis yang tak kunjung reda.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini, sayang ?” tanya lelaki itu.
“Untuk apa kau kemari?” tanya Kirana seolah marah.
“Apalagi, kalau bukan untuk mengantarkanmu ke kampus,” tanggapnya dengan tenang.
“Aku tidak mau diantarkan olehmu, aku tidak suka naik mobil, lebih baik aku naik bus saja dengan Defan,” jawab Kirana. Ia memasang wajah cemberut. Sembari memalingkan wajahnya.
“Dengar! aku ini suamimu,” lelaki itu memegang pundak Kirana dan mengguncang-guncangkannya.
“Tapi, aku tidak suka padamu, aku tidak mencintaimu” jawab Kirana mengangkat kepala.
“Dan bagaimanapun, kau tetap istriku. Orang tuamu yang telah memilihku untukmu,” jawabnya sekali lagi memberikan perlawanan.
Aku hanya menyaksikan perdebatan mereka berdua. Ada sesuatu yang aneh dalam pendengaranku. Aku tak kuasa menghalanginya karena mendengarkan percakapan mereka. Sesuatu telah menyayat dalam jantungku. Tapi, aku mencoba yakin bahwa Kirana tidak berbohong padaku. Ia tidak punya suami. Aku yakin lelaki itu hanya mengaku-ngaku sebagai suami Kirana. Sangat yakin.
“Sudah, sudah, sudah…sekarang aku ingin bertanya padamu, Kirana. Benarkah laki-laki ini adalah suamimu?” tanyaku di tengah gerimis yang terus membasahi badanku.
Aku sudah tak peduli pada gerimis. Kirana hanya menangis tersenggal-senggal. Air matanya mengucur dari lesung pipinya. Senyum yang pernah menebar semerbak di jantungku. Kini, hanya menghadirkan luka yang tak pernah aku minta.
“Ayo… jawab, Kirana?” desakku. Ia hanya menangis. Meski kali ini, gerimis sudah reda. Dan berganti dengan gerimis air mata kirana yang jatuh dari pelupuknya.
“Iya, Fan. Dia memang suamiku.” Sembari ia menangis tersedu-sedu di hadapanku.
“Aku minta maaf, Fan. “ Ia terus melinangkan air matanya.
“Kalau begitu, kau ikut saja dengannya. Aku akan naik bus sendirian saja,” jawabku. Ketus.
“Ayah,“ suara Surya dari kejauhan memanggilku.
“Anak siapa ini?”tanya suaminya.
“Ini buah hatiku dengan Mas Defan,”jawab Kirana sesenggukan.
Dua lelaki itu tiba-tiba pergi meninggalkan kirana dan anak berumur tujuh tahun itu hanya melongo tak mengerti pada peristiwa yang terjadi.