Oleh : Abdul Warits*
“Katakanlah yang baik-baik atau jika tidak bisa maka diamlah saja”
Kebiasaanku adalah duduk di beranda. Setiap sore aku terbiasa duduk di sini. Tak banyak yang kulakukan, hanya sekadar bercengkrama dengan para gadis-gadis tetanggaku. Tentunya banyak sekali yang aku perbincangkan dengan mereka, tentang para pemimpin Negara yang suka korupsi atau memperbincangkan masalah pergaulan remaja yang tak menemukan arah. Seringkali objeknya, salah satu temanku yang diperbincangkan kejelekannya ke sana-ke ke sini atau desas-desus yang sedang beredar di sekolah.
“Bagaimana, ini ganteng, Tidak?” cerocos Sulastri sembari menyodorkan foto seorang lelaki berwajah menawan. Kulihat wajahnya seperti Seperti artis papan atas Indonesia. Entah, dari mana Sulastri kenal lelaki itu.
“Ah, ini mah. Jelek, Las. Bukan ganteng. Gimana sih, kamu bisa gak membedakan antara orang jelek dengan orang ganteng. “ jelasku padanya. Aku bohongi saja dia.
“Tapi, laki-laki ini menurutku ganteng, baik hati lagi. Aku tak peduli apa yang kamu katakan sejak tadi.” Sulastri bersikukuh dengan tetap membela foto lelaki yang dipegangnya itu.
“Ya sudah, kalau gak percaya padaku. Pada akhirnya kau akan melihatnya sendiri bahwa lelaki itu memang jelek “ bantahku pada Sulastri.
Ya. Dimanapun jika sudah memperbincangkan laki-laki (khusus perempuan) pasti akan menarik dan tidak akan ada ujungnya apalagi usia remaja seumurku. Begitupun sebaliknya jika memperbincangakan perempuan (khusus laki-laki) pasti akan selalu memberikan kebahagiaan dan sumringah di wajah. Inilah dunia. Keduanya memang tidak akan pernah bosan untuk diperbincangkan. karena hidup akan saling bergantung antara satu sama lain.
***
Tiba-tiba saja sore berikutnya, aku sakit. Badanku panas sekali. Malamnya Sulastri datang menjengukku yang sedang lemas tak berdaya di kamar. Badanku sangat panas. Setelah dokter memeriksa ternyata panasnya mencapai empat puluh Sembilan derajat celcius. Betapa apa kalian rasakan jika sudah mengalami panas yang mencapai empat puluh sembilan derajat celcius. Pasti akan terasa seperti dibakar, bukan ?. Apa yang kalian pikirkan itulah yang saat ini kurasakan.
Benar. Badanku panas. Untung saja, malam ini Sulastri datang. Ia adalah tetanggaku yang seringkali main ke rumahku. Rumahku seperti rumahnya juga. Eh, Sulastri benar-benar tidak tahu diri. Bukannya ia menanyakan keadaanku. Malah ia menanyakan foto lelaki yang sempat kemarin sore di perbincangkan di beranda.
“Sel, lelaki itu ganteng, kan ? “ tanyanya padaku.
“Tidak, Las. Dia itu jelek.” Jawabku mengerutkan dahi. Biar saja ia kecewa. Salahnya sendiri. Bukannya menanyakan keadaanku. Justru, menanyakan yang tidak-tidak padaku.
“Ah, yang benar kamu, Sel?” Ia tak percaya.
“Iya, aku benar. Lelaki itu memang jelek. “ ketusku padanya.
Sepertinya ia sangat kecewa dengan perkataanku malam itu. Ia pun keluar dari kamarku dan pulang menuju rumahnya. Kubiarkan saja. Sebab, badanku masih panas dan aku tak bisa berjalan kemana-kemana. Ah,nasib.
Seperti ada yang pecah dalam hatiku. Aku tengok dalam dadaku tidak ada yang berdarah. Tetapi, hatiku masih saja baik dan jantungku masih bekerja normal seperti biasa. Aku tak tahu apa yang telah pecah dalam hatiku meskipun saat ini badanku masih tetap dalam keadaan panas dan panas itu semakin membara. Entah, apa mungkin aku telah menyakiti sahabatku sendiri. Aku tak tahu, perasaanku tidak enak kali ini. Atau karena tadi aku masuk angin ketika periksa ke dokter. Ya, barangkali. Sebab, aku tidak menggunakan jaket ketika ayah mengantarkanku. Anehnya lagi, ketika aku periksa ke dokter Herlambang. Ia mengatakan pada ayahku, bahwa aku tidak terkena penyakit apa-apa. Justru aku disuruh makan yang banyak biar cepat sembuh. Aku sempat berpikir, apa tidak salah kiranya dokter Herlambang mengatakan hal tersebut pada ayahku. Padahal, badanku sangat panas. Dasar dokter ! tahunya hanya mengatakan, tidak tahu apa yang sedang aku rasakan.
Tapi benar juga kata dokter , setelah aku makan yang banyak. Badanku mulai agak dingin meskipun masih ada sisa panas yang masih aku rasakan. Rencananya, besok kalau badanku sudah benar-benar dingin maka aku berniat ingin masuk sekolah kembali. Terlalu banyak pelajaran yang sudah tertinggal.
***
“Aaa…”aku berteriak.
Setelah terbangun dari ranjang dan berkaca ingin berdandan. Kudapati wajahku terdapat bintik-bintik merah yang besar dan sangat sakit sekali. Ah, tidak, tidak,..jika keadaannya seperti ini aku urungkan saja niatku untuk masuk sekolah. Apa kata teman-teman nanti. Apalagi jika bertemu dengan Ray di sekolah. Gawat. Bisa hancur reputasiku sebagai seorang gadis tercantik di sekolah. Dengan memberanikan diri, aku mencoba keluar dari rumah. Tiba-tiba saja, Sulastri tertegun ketika mendapatiku dengan wajah yang diselimuti bintik merah. Raut wajahnya tampak jijik melihatku. Lalu, ia pun segera berangkat bersama teman-temannya.
“Apakah kau sudah tak peduli denganku, Sulastri.? Ini aku, sahabatmu, setega itukah kau padaku? apakah kau sudah tidak menganggapku sebagai seorang sahabat?”
Sejak peristiwa itu, aku lebih memilih diam sendiri di beranda. Sampai senja tenggelam di ufuk barat. Terkadang menunggu sinar matahari yang peduli untuk menyinari tubuhku yang tidak dipedulikan banyak orang kecuali hanya keluargaku sendiri