Oleh: Ibnu Abbas
Sejarah mencatatkan bahwa Indonesia mampu meraih kemerdekaan bukan karena pemberian, melainkan dengan perjuangan dan pengorbanan. Selama 3,5 abad lamanya berada di bawah kendali penjajah, penderitaan dan ketimpangan sosial adalah hal biasa yang menjadi tontonan setiap waktu.
Namun di balik penderitaan itu, ada semangat kemerdekaan yang terus dikobarkan oleh para pejuang, termasuk di dalamnya ada para santri dan kiai. Dengan penuh kesabaran dan ketakwaan, kekuatan terus dibangun hingga berhasil mengusir para penjajah dari Bumi Pertiwi.
Kemerdekaan tidaklah serta merta di dapatkan, butuh proses dan perjalanan yang panjang. Selain jalur militer dan diplomasi yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan seperti Ir Soekarno dan Jenderal Sudirman, para kiai dan ulama pesantren juga istiqamah mendidik para santri. Tidak hanya mendalami khazanah ilmu agama, melainkan juga diajarkan tentang pentingnya mencintai tanah air.
Peran para ulama pesantren dalam menumbuhkan cinta tanah air ini tidak bisa diremehkan. Seorang ulama besar tanah air, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan jauh sebelum kemerdekaan telah menggaungkan semangat mencintai tanah air kepada para santri-santrinya.
Diceritakan KHR Muhammad Makki Nasir, dikutip dari laman Youtube NU Online, dalam salah satu karya kitabnya yang ditulis 1891 silam, Syaikhona Kholil menulis ’Hubbul Authan Minal Iman…. alhadits’. Tulisan itu ditemukan oleh Tim Turots yang menjadi bukti bahwa beliau mengajarkan cinta tanah air kepada para santrinya sejak awal.
Lantas tim turots bersama Aswaja NU Center kemudian melakukan penelitian dengan merujuk kepada sejumlah dalil. Maka ditemukanlah hadits Shohih Bukhari, bahwa Rasulullah SAW pernah berdoa: Allahumma habbib ilainal-madinah, kahubbina makkata au asyaddah. (Berilah kami cinta kepada Kota Madinah, sebagaimana cinta kami kepada Makkah, bahkan lebih).
Sebagai panutan umat, Rasulullah SAW dalam tindakannya selalu didasari oleh keimanan. Karena Rasulullah adalah paling hebatnya orang-orang yang beriman. Oleh karenanya, cinta Rasulullah kepada Madinah juga dilandasi oleh keimanan. Itulah yang kemudian menjadi landasan tulisan Syaikhona Kholil tentang hubbul authan minal iman dalam karya kitabnya.
”Dan ajaran mencintai tanah air bagian dari keimanan ini diajarkan Syaikhona Kholil kepada para santri-santrinya. Dan ini digaungkan pula oleh Kiai Hasyim Asy’ari menjadi hubbul wathan minal iman. Ketika di era sebelum nation, masih di era kerajaan, tulisannya masih authan,” terangnya.
Sehingga tidak heran pada tahun 1912 sampai 1918 para santri di Surabaya, yang notabene adalah alumni Syaikhona Kholil tidak mau ketinggalan dalam pergerakan era kebangkitan nasional itu. Mereka kemudian mendirikan Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar dan Nahdlatuttujjar, yang juga bersifat sektoral. Tiga organisasi inilah yang kelak menjadi cikal-bakal berdirnya NU.
Spirit cinta tanah air juga digelorakan oleh Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Salah seorang santri beliau yang juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Dalam literatur sejarah pun juga banyak ditemukan bahwa Mbah Hasyim adalah pencetus fatwa Resolusi Jihad. Sebuah seruan membangkitkan semangat untuk mengusir para penjajah.
Soekarno melalui utusannya bertanya kepada KH. Hasyim Asy’ari, “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Qur’an. Sekali lagi membela tanah air?.”
Terhadap pertanyaan presiden Soekarno tersebut, lahirlah fatwa jihad yang yang ditulis langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Fatwa tesebut berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; (2) hukumnya orang bagi yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Sebagai santri Syaikhona Kholil, Mbah Hasyim pun juga menggaungkan konsep Hubbul Wathan Minal Iman.
Sebuah ramuan khas ala ulama pesantren yang menyatukan antara nasionalis-religius. Konsep inilah yang hingga kini tetap dipertahankan dan diperkuat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Wallahu A’lam.