Oleh: Anis Faikatul Jannah
Era modern bukan menjadi alasan bagi santri milenial, santri yang dulunya di kenal kudet (Kurang Update) sekarang sudah mengikuti modernisasi tanpa melampaui batasan statusnya sebagai seorang santri. Maraknya arus informasi menjadi celah masuknya radikalisme dan gerakan anti toleransi dalam social media.
Untuk itu, saat ini pesantren-pesantren sudah siap melucurkan santri-santrinya untuk ber berjihat melawan kontra narasi yang bertebar di social media salah satunya Duta Damai Santri Regional Jawa Timur, yang berhasil menggandeng 11 media pesantren terbesar di Jawa Timur di bawah naungan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) dan mendapat support juga ridho dari masing-masing pengasuh Pondok Pesantren juga ulama’ nusantara, terbukti dari beberapa kegiatan-kegiatan santri yang sudah berjalan hingga hari ini.
Kaum radikal di Indonesia kerap mempertentangkan keberagamaan ras, suku, agama, budaya dan kenegaraan Indonesia itu sendiri. yang padahal sudah jelas dengan gamblang bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya. Hal ini, jika terus kita biarkan, kemungkinan besar kelompok radikal semakin memperkeruh suasana masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang masih awam.
Sejatinya seorang santri meskipun masih di bawah bimbingan lembaga kepesantrenan masih bisa mensyiarhkan dawuh guru, kyai, bu nyai atau pemahaman ilmu yang ia miliki. Media social bukan hanya sebagai hiburan semata, melainkan juga sebagai sarana media dakwah. Santri adalah agen pemegang agama Islam yang konsisten, toleran, dan penjaga pagar keberagaman dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia.