Oleh: Ahmad Mutawakil
Setiap gelaran Pemilu di Indonesia, perbincangan hangat tentang keterlibatan agama menjadi topik yang tak pernah absen. Di satu sisi, agama merupakan landasan moral penting bagi masyarakat, namun di sisi lain, pemanfaatannya untuk kepentingan politik kerap menimbulkan friksi dan polarisasi.
Maka, pertanyaan pun mengemuka: Apakah Pemilu benar-benar menjadi panggung untuk unjuk program dan visi-misi calon pemimpin, atau justru ajang bagi para politisi untuk memainkan sentimen agama demi meraih suara?
Argumen Agama Sebagai Panggung Politik
Pendapat yang menyatakan Pemilu sebagai panggung politik dengan agama sebagai alatnya, tak bisa diabaikan. Beberapa faktor yang menguatkan pandangan ini antara lain:
Indonesia Sebagai Masyarakat Religius:
Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2021, 88,17% penduduk Indonesia memeluk agama Islam, 6,91% Kristen Protestan, 3,94% Katolik, 1,23% Hindu, 0,72% Buddha, dan 0,07% Konghucu. Keyakinan yang kuat ini tentunya memengaruhi dinamika politik di Tanah Air.
Pengaruh Tokoh Agama:
Tokoh agama memiliki pengaruh besar terhadap pengikutnya. Di Indonesia, peran kyai, pendeta, pastor, maupun pemimpin agama lainnya kerap kali dimanfaatkan oleh para politisi untuk mendapatkan dukungan. Seruan dukungan atau fatwa dari tokoh agama tertentu, dapat dengan mudah mengarahkan pilihan masyarakat.
Politisasi Isu-Isu Agama:
Isu-isu sensitif seperti penistaan agama atau penerapan syariat Islam, kerap diangkat oleh politisi untuk menyerang lawan atau memicu emosi massa. Hal ini, meskipun berisiko menimbulkan konflik, dapat menjadi strategi efektif untuk menggiring opini publik.
Contoh Kasus:
Pada Pemilu 2019, isu penistaan agama yang ditujukan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kekalahannya.
Pilkada DKI Jakarta 2017 juga diwarnai dengan politisasi isu SARA, di mana isu-isu terkait etnis dan agama diangkat oleh kedua kubu yang berlaga.
Argumen Agama Sebagai Landasan Moral Politik, namun, tak semuanya sepakat dengan pandangan ini. Pihak yang berpendapat bahwa agama harus menjadi landasan moral dalam politik, berlandaskan pada argumentasi:
Etika dan Nilai Agama:
Ajaran agama, pada dasarnya, mengandung nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan keadilan. Hal ini selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi dan kebebasan. Agama bisa menjadi pengingat bagi para politisi agar mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
Membangun Politik yang Bersih:
Keterlibatan agama diharapkan dapat mendorong terciptanya Pemilu yang bersih dan bebas dari kecurangan. Ajaran agama dapat menjadi pengingat bagi para politisi untuk mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
Menjembatani Keberagaman:
Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang multikultural dan multireligi. Agama dapat menjadi jembatan untuk membangun dialog dan toleransi antarumat beragama, serta mencegah terpecahnya masyarakat akibat politik identitas.
Contoh Praktik Positif:
Beberapa organisasi keagamaan di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, secara aktif mendorong kampanye Pemilu yang damai dan bermartabat.
Di daerah-daerah tertentu, dialog antarumat beragama juga kerap digelar untuk memperkuat kerukunan menjelang Pemilu.
Mencari Titik Keseimbangan
Lantas, mana yang lebih tepat? Panggung politik atau panggung agama? Mungkin, keduanya tidak sepenuhnya benar atau salah. Idealnya, Pemilu seharusnya menjadi arena adu gagasan dan program para calon pemimpin, dengan agama berperan sebagai landasan moral yang menuntun jalannya kontestasi politik.
Mencapai titik keseimbangan ini bukan perkara mudah. Diperlukan kesadaran dari seluruh pihak, mulai dari penyelenggara Pemilu, politisi, tokoh agama, hingga masyarakat secara luas.