Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 24 Jul 2024 10:31 WIB ·

Pandangan Islam soal Mitos Sial di Bulan Shafar


 Pandangan Islam soal Mitos Sial di Bulan Shafar Perbesar

Oleh: Ibnu Abbas

Shafar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriyah. Sebagian masyarakat, tidak terkecuali umat Islam sendiri di Indonesia, mempercayai bahwa bulan Shafar penuh dengan kesialan dan nahas. Karena itu nyaris tidak ada yang menggelar pernikahan di bulan tersebut.

Lantas bagaimana pandangan Islam sendiri perihal kesialan itu, apakah sekadar mitos atau fakta berdasarkan dalil-dalil yang ada? Sebelum lebih jauh membahas perihal mitos atau faktanya, alangkah lebih baik bila terlebih dahulu mengetahui awal mula penamaan Shafar.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa dinamakan bulan Shafar (sepi) karena kebiasaan orang Arab di zaman dulu pergi ke rumah (mengosongkan rumah) untuk berperang dan aktivitas lainnya.

صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأسْفَارِ (تفسير ابن كثير: ج ٤، ص ١٤٦)

Sementara menurut Ibnu Mandzur (لسان العرب: ج ٤، ص ٤٦٠), ada beberapa penamaan bulan Shafar. Pertama, orang Arab biasa memanen tanaman mereka dan mengosongkan tanah mereka di bulan ini. Kedua, orang Arab biasa memerangi Kabilah yang datang ke daerah mereka dan mengosongkan bawaan mereka, sehingga mereka (musuh) pulang dengan tangan kosong tanpa bawaan.

Adapun perihal bulan sial, beberapa ulama terkemuka memberikan pandangannya sebagai berikut:
Ibn Rajab al-Baghdadi menyatakan bahwa bulan Shafar sama dengan bulan lainnya. Ada kebaikan dan keburukan di dalamnya. Sehingga anggapan bahwa bulan Shafar penuh dengan kesialan itu tidak benar.

وأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ
Setiap bulan, termasuk Shafar, bila diisi dengan kebaikan itu akan menjadi baik. Namun sebaliknya, bila bulan Shafa diisi dengan keburukan, makan akan menjadi buruk pula.

كُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَان مُبَارَك عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ. (إبن رجب البغدادي، لطائف المعارف: ص ٨١)
Nabi Muhammad SAW mengeaskan dalam haditsnya.

لَاعَدْوَي وَلَاطِيَرَةَ وَلَا هَامَةً وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ (رواه البخاري)
Artinya: Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaiman engkau menghindari dari singa.

Syaikh Abu Bakar Syata (إعانة الطالبين: ج ٤، ص ٣٨٢) mengatakan, hadits di atas ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang Jahiliyah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya; baik keburukan maupun kebaikan.

Selain itu, menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yang terjadi murni karena kehendak Allah yang sudah tercatat sejak zaman Azali, bukan disebabkan waktu, zaman dan anggapan salah lainnya.

Habib Abu Bakar al-Adni (أبو بكر الأدني، منظومة شرح الأثر فيما ورد فى شهر الصفر: ص ٩) menyatakan bahwa ada beberapa peristiwa yang menolak keyakinan orang Arab Jahiliyah tentang kesialan di bulan Shafar. Pertama, Nabi Muhammad SAW menikahi Siti Khadijah di bulan Shafar. Kedua, pernikahan antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Shafar. Ketiga, hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Shafar. Keempat, perang Abwa terjadi pada bulan Shafar, di mana umat Islam justru mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir.

Beberapa pandangan ulama tentang Bulan Shafar di atas dapat disimpulkan bahwa Shafar sebagai bulan sial adalah mitos. Semua bergantung kepada perilaku dan sikap masing-masing, apakah mengarah kepada hal baik, atau justru sebaliknya. Wallahu A’lam.

Artikel ini telah dibaca 12 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tiga Sikap dan Karakter Kiai Indonesia yang Perlu Diketahui

30 Agustus 2024 - 22:31 WIB

Esensi Makna Kiai

30 Agustus 2024 - 22:20 WIB

Anak Muda dalam Membangun Kehidupan yang Toleran: Studi Kasus di Madura

30 Agustus 2024 - 20:51 WIB

Dari Khotbah ke Kabel: Peran Media dalam Agama dalam Pandangan Marshall McLuhan

30 Agustus 2024 - 20:48 WIB

Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak: Parenting Islam untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

30 Agustus 2024 - 18:39 WIB

Dari Arsitek Politik Islam sampai Post-Islamisme Perpolitikan Indonesia

30 Agustus 2024 - 18:36 WIB

Trending di Suara Santri