Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 30 Jul 2023 20:24 WIB ·

Nilai-Nilai Jurnalisme Islami Sebagai “Anjing Penjaga”


 Nilai-Nilai Jurnalisme Islami Sebagai “Anjing Penjaga” Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Jurnalisme adalah salah satu jalan dalam mencari kebenaran yang hilang, menegakkan keadilan dan cara yang paling jitu dalam memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) meski dalam demokrasi barat, profesi jurnalis biasanya dipahami sebagai pekerjaan sekuler. Tetapi, jika kita mengamati kepada tujuan jurnalisme, profesi ini justru sangat mulia dan sesuatu yang sangat dekat dengan nilai-nilai islam (hal.22). Tujuan jurnalisme adalah “meraih kebajikan”.

Tradisi jurnalisme ini harus tetap dipertahankan untuk memajukan negara dan bangsa menuju martabat yang lebih bersahaja. Sebab itulah, jurnalisme adalah salah satu cara dalam mengontrol kekuasaan. Tidak heran, jika di negara Indonesia, jurnalisme seringkali mendapat perlawanan yang sangat sengit dan mempunyai sejarah kelam dengan pemerintahan orde baru.

Buku ini lebih menekankan perhatian upaya wartawan muslim mengaitkan makna pekerjaan mereka dalam konteks islam dan maknanya bagi jenis jurnalisme yang mereka terapkan. Salah satu wartawan dari Malaysiakini menyatakan,”dalam hal etika, jurnalisme hampir 100 % sama dengan tujuan agama: mencari keadilan, membantu orang miskin, menyokong penyebaran adil kemakmuran, dan berjuang melawan korupsi (hal.17)”. Profesi ini tentu saja harus mendapat dukungan dari berbagai kalangan sebagai profesi yang lebih dari sekedar “menulis berita”.

Hubungan Islam dan jurnalisme bisa kita kutip dalam ayat Al-quran Q.S Al-hujurat (49) : 6 yang berbunyi,”wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali apa yang telah kalian kerjakan”. Pada ayat tersebut, terdapat nilai-nilai jurnalisme yang bersifat islami semisal ketika wartawan melakukan verivikasi. Dalam buku ini dijelaskan,”wartawan sering menggambarkan proses isnad, atau memeriksa rantai penyebaran (hal. 20). Jika kita menilik lebih jauh lagi, secara esensi, profesi jurnalis begitu mulia karena pekerjaan ini sangat sinkron dengan salah satu sifat nabi yaitu tabligh (menyampaikan) kebenaran. Proses verivikasi (isnad) itu ternyata memang sudah ada di pesantren sejak dahulu sehingga jalur keilmuan santri dari gurunya sharih (jelas). Sebagaimana dalam buku ini,”nilai-nilai islam dan nilai-nilai jurnalistik itu saling melengkapi, terutama dalam verivikasi dan pemberitaan yang berimbang (hal.70)”.

Tidak hanya itu, dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana praktik kebebasan pers dan jurnalisme independen. Seperti perkataan salah satu wartawan Tempo, Toriq Haddad, “kebebasan pers itu adalah definisi barat (hal.28)”. Perbedaan yang cukup signifikan antara kebebasan pers dan jurnalisme independen  adalah terletak pada media yang “bebas” dan media yang “independen”. Semua wartawan tentu boleh menulis bebas tetapi terkadang tidak independen. Inilah kesalahan yang seringkali dianggap kebiasaan oleh para jurnalis.

Kebanyakan kasus yang terjadi, para jurnalis terkadang hanya memotret sisi positif saja dari sesuatu yang ingin disampaikan kepada khalayak dan pembaca tanpa menghadirkan berita yang berimbang. Karenanya, dalam buku ini dijelaskan, “wartawan muslim di Indonesia dan Malaysia mungkin tak tergerak oleh cita-cita kebebasan. Namun, mereka memahami pentingnya berbicara tentang kebenaran kepada kekuasaan dan menghentikan apa yang salah dengan kata-kata mereka (hal.29)”. Hal tersebut tentu saja mempunyai korelasi dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:”bentuk terbaik jihad adalah mengatakan kebenaran kepada penguasa yang dzalim (hal.20)”.

Buku ini berusaha untuk memadukan konsep jurnalisme yang mempunyai korelasi dengan nilai-nilai islam dan juga menyinggung tentang kiprah wartawan muslim dalam memberitakan berita kepada khalayak di lima media yang ada di negara Malaysia dan Indonesia. Sebagaimana dikutip dalam buku ini, “meskipun tidak ada kesepakatan tentang hubungan antara jurnalisme dengan islam, semua wartawan muslim menganggap diri mereka sedang mencari kebenaran (hal.34)”.

Buku ini juga memotret bagaimana pergolakan jurnalisme di dua negara asia tenggara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Negara tersebut adalah Indonesia yang bertetangga dengan negeri jiran, Malaysia. Ada beberapa media yang berhasil diungkap tentang persinggungannya dengan berbagai dimensi seperti Sabili yang berkaitan dengan islam skriptualis, Republika yang berkaitan dengan Islam sebagai ceruk pasar, harakah yang berkaitan dengan Islam dan politik, malaysiakini yang berkaitan dnegan Islam dengan konteks sekuler, Tempo yang berkaitan dengan islam kosmopolitan dalam praktik.

Judul                          : Mediating Islam, Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara   Muslim Asia Tenggara   

Penulis           : Janeet Steele  

Penerbit         : Bentang Pustaka   

Cetakan          : I, Februari 2018

Tebal              : 289 halaman

ISBN               : 978-602-291-459-4

 

Artikel ini telah dibaca 9 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Jejak Keagungan dan Kebijaksanaan Wanita yang Diabadikan Kitab Suci

5 Oktober 2024 - 06:32 WIB

Pesantren Menghadapi Pilkada dan Politik: Antara Netralitas dan Partisipasi

30 September 2024 - 05:29 WIB

Peran Guru Ngaji di Madura

29 September 2024 - 23:30 WIB

Santri dan Demokrasi: Peran Pesantren dalam Membangun Bangsa

29 September 2024 - 23:03 WIB

Ciri Khas Pesantren Madura: Menggali Tradisi, Pendidikan, dan Nilai Lokal

29 September 2024 - 21:10 WIB

Ekologi Pesantren: Mengintegrasikan Kehidupan Spiritual dan Lingkungan

29 September 2024 - 20:36 WIB

Trending di Suara Santri