نَقِّل فُؤادَكَ حَيثُ شِئتَ مِنَ الهَوى # ما الحُبُّ إِلّا لِلحَبيبِ الأَوَّلِ
كَم مَنزِلٍ في الأَرضِ يَألَفُهُ الفَتى # وَحَنينُهُ أَبَداً لِأَوَّلِ مَنزِلِ
Pindahkan hatimu kepada cinta manapun yang engkau suka, tapi cinta yang sesungguhnya hanyalah untuk cinta yang pertama.
Betapa banyak tempat di muka bumi ini yang membuat seseorang terpesona, tapi rasa rindu selalu untuk kampung halamannya yang pertama.
Dalam Diwanush-Shababah (Antologi Cinta) karya Abi Hajalah, ada pembahasan tentang perdebatan para pujangga terkait cinta sejati, apakah cinta sejati itu cinta yang pertama, ataukah cinta yang terakhir. Abu Tammam berpendapat bahwa cinta sejati adalah cinta yang pertama. Dalilnya adalah cinta tanah air, sebagaimana gubahan syair di atas, seseorang selalu merindukan kampung halaman pertamanya, maka dia juga akan selalu merindukan cinta pertamanya.
Cinta tanah air merupakan suatu hal yang alamiah dan menjadi naluri setiap orang sebagaimana cinta kepada keluarga dan sanak famili, sehingga seperti apapun kedaan tanah air, seseorang tetap mencintainya. Sejauh mana pun ia pergi, suatu saat ia rindu untuk pulang ke kampung halaman. Sayyidina Umar pernah berkata,
لَوْلَا حُبُّ الْوَطَنِ لَخَرَبَ بَلَدُ السُّوْءِ فَبِحُبِّ الْأَوْطَانِ عُمِّرَتِ الْبُلْدَانُ
“Tanpa adanya cinta tanah air, niscaya daerah yang gersang tak akan berpenghuni. Berkat cinta tanah airlah daerah-daerah itu dimakmurkan.”
Rasulullah juga memiliki rasa cinta tanah air yang luar biasa kepada tanah kelahirannya, yakni kota Makkah. Hal ini terbukti ketika hijrah, saat pergi dari Makkah menuju Gua Tsur, beliau memandangi Makkah seraya bersabda:
أَنْتِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكِ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ لَمْ أَخْرُجْ مِنْكِ
“Engkau adalah negeri Allah yang paling aku cintai. Seandainya bukan karena penghunimu memaksaku untuk pergi, maka aku tidak akan meninggalkanmu.” (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Mathâlib al-Aliyyah)
Apakah kemudian ketika Rasulullah hijrah ke Madinah lantas beliau tidak lagi mencintai Makkah? Tentu tidak! Beliau tetap cinta kepada Makkah. Beliau rela meninggalkan Makkah itu karena kecintaan beliau kepada kebenaran melebihi kecintaan beliau kepada apapun.
Mengutip dari Tafsir al-Khazin, dalam perjalanan hijrah ke Madinah, saat Rasulullah sampai di Juhfah, suatu daerah yang berada di antara Makkah dan Madinah, beliau mengenali jalan yang menuju Makkah, lalu merasa rindu ke tanah kelahirannya. Kemudian malaikat Jibril datang dan bertanya, apakah kau rindu dengan negaramu? Rasulullah pun mengiyakan. Malaikat Jibril lalu berkata lagi, sesungguhnya Allah berfirman, “Dzat yang menurunkan al-Quran kepadamu akan mengembalikanmu ke tempat asalmu.”
Dari sini bisa dilihat betapa Rasulullah sangat mencintai tanah kelahirannya, atau bahasa mudahnya, rasa nasionalisme beliau sangat tinggi. Selain karena Makkah adalah tempat kelahiran, di sana juga tempat tinggal keluarga beliau, baik dari Bani Hasyim, Bani Muththalib, dan Bani Zuhrah.
Oleh karena itu, nasionalisme tidak bisa dipertentangkan dengan agama. Pendekatan nasionalisme dengan Islam tidak bisa dinilai sebagai pendekatan yang kontradiktif, melainkan harus didekatkan secara kompromistis. Nasionalisme dengan agama harus berjalan beriringan, tidak bisa diletakkan dalam posisi yang berlawanan. Agama merupakan tujuan abadi, sedangkan negara adalah kendaraannya. Untuk bisa sampai ke tujuan, tentu kendaraannya harus dikemudikan dengan benar. Seandainya suatu saat kendaraannya mengalami satu dua kerusakan, tentu langkah yang harus diambil adalah berusaha memperbaikinya, bukan malah membuangnya. Artinya, ketika dalam bernegara kemudian menemukan beberapa kekurangan, sebagai bentuk manifestasi dari nasionalisme adalah adalah memperbaiki negaranya, bukan malah menghancurkan negara dan bangsanya sendiri.