Pada awal berdirinya, Nahdlatul Ulama merupakan jam’iyah diniyah atau organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik. Walaupun begitu, dimensi politik dalam aktifitas NU tidak kecil, terutama melihat tujuan pendirian yang sejak awal telah terkandung muatan politik, yaitu penggalangan nasionalisme di tengah iklim kolonial saat itu.
Bergabungnya NU ke dalam MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) menandai mulai manifesnya orientasi politik organisasi ini. MIAI ini yang merupakan cikal-bakal Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia), di mana NU bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya di masa awal kemerdekaan.[1]
Pada Tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik, menyusul munculnya serangkaian kekecewaan NU terhadap Masyumi yang berkaitan dengan masalah distribusi kekuasaan dalam struktur pimpinan partai federasi (gabungan) itu.[2]
NU kemudian mendirikan partai Nahdlatul Ulama pada tahun 1955. Saat itu, NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante.
Setelah berjalan begitu lama, orientasi politik yang berlebihan membuat NU yang seharusnya dikonsentrasikan kepada aktivitas keagamaan menjadi terganggu.
Baca juga: Tujuan Politik dalam Kacamata NU
NU Kembali ke Khittah
Akibat daripada hal ini, NU mengeluarkan putusan untuk kembali ke Khittah. KH. Ahmad Siddiq dalam buku Khittah Nahdliyyah menuturkan pada kurun pertama (pendiri) tidak terasa perlu untuk menuliskan perumusan Khittah. Sebab, landasan perjuangan benar-benar dihayati dan diamalkan.
Maka sejak NU masih berbentuk partai, dengan terganggunya aktivitas keagamaan, pedoman perjuangan NU sangat mendesak untuk dituliskan. Faktor lain yang menjadi pertimbangan di antaranya:
- Makin jauhnya jarak waktu antara generasi pendiri dengan penerus;
- Makin luasnya medan perjuangan, beragamnya jumlah dan macam bidang yang harus ditangani;
- Makin banyaknya jumlah dan macam ragam mereka yang menggabungkan diri pada Nahdlatul Ulama dengan latar belakang pendidikan dan sub kultur yang berbeda-beda;
- Makin berkurangnya peranan dan jumlah ulama generasi pendiri dalam pimpinan Nahdlatul Ulama. [3]
Maka pada Muktamar ke-27 di Situbondo, NU mengeluarkan putusan untuk “Kembali ke Khittah 1926”. Khittah mengamanatkan ditinggalkannya NU dari organisasi politik mana pun. Namun NU tidak meninggalkan peranannya dalam politik.
KH. Ahmad Subadar menggarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan politik dalam konteks yang berhubungan dengan NU bukan politik kekuasaan, melainkan politik partisipatoris yaitu politik di mana NU berperan aktif dalam membangun bangsa dan negara.[4]
Konsep ini mengantarkan peran NU pada bentuk perjuangan kemasyarakatan yang lebih luas. Dan dapat diambil kesimpulan bahwa Khittah tidak serta-merta warga NU mengesampingkan partisipasi dalam berpolitik. Hanya saja, NU bersikap netral terhadap partai mana pun. Membebaskan warganya untuk menentukan orientasi pilihan politik mereka.
Tonton juga: RESOLUSI JIHAD BELUM USAI || shoot movie duta damai santri jawa timur
[1] A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia, (Surabaya: LKIS, 1995). Pustaka NU Online.
[2] Ibid.
[3] KH. Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, (Surabaya: LKIS, Cet. IV, 2006), Hlm. 7.
[4] Trianto, Sarung dan Demokrasi dari NU Untuk Peradaban Keindonesiaan (esai: Membaca Peta Politik Kiai Nahdaltul Ulama), (Surabaya: Khalista, Cetakan I, 2008), Hlm. 93
Nahdlatul Ulama dalam Kancah Politik
Nahdlatul Ulama dalam Kancah Politik