Oleh: Abdul Warits
Menjadi seorang Nyai adalah posisi terhormat di kalangan masyarakat Madura. Nyai adalah percontohan dan teladan bagi kaum perempuan Madura. Kedudukan dan derajatnya hampir sama dengan kiai ketika berada di tengah–tengah masyarakat: dihormati, disegani, disanjung, sebagaimana setara penghormatannya kepada seorang kiai. Hal ini tentu karena terdapat beberapa keunikan dan kelebihan seorang nyai di tengah masyarakat Madura.
Tatik Hidayati dalam buku ini berhasil dalam mengungkap beberapa keunikan dan kelebihan yang dimiliki oleh nyai di Madura dan perannya di tengah-tengah masyarakat. Pengertian nyai di kalangangan masyarakat Jawa dan Madura diartikan sebagai seorang istri kiai yaitu perempuan yang memiliki kemampuan menafsirkan teks-teks keagamaan dan turut terlibat dalam aktivitas keagamaan masyarakat (hal. 82). Pengertian Nyai di dalam buku ini bukan merujuk kepada perempuan yang sudah tua atau sudah kawin atau bahkan nyai diartikan sebagai gundik sebagaimana tradisi Bangsa Eropa.
Nyai merupakan elite perempuan pesantren yang memiliki peran sebagai penghubung, pembimbing, guru, sekaligus intelektual atas persoalan-persoalan perempuan. Nyai merupakan orang yang seringkali mendampingi kiai, baik sebagai istri maupun pemimpin pesantren (bagi santri-santri) ataupun komunitas kaum perempuan. Karenanya, Tatik Hidayati di dalam buku ini menemukan beberapa keunggulan yang dimiliki oleh seorang nyai. Keunggulan tersebut di antaranya Nyai memiliki ruang sosial, modal sosial yang meliputi jaringan kekerabatan, kuasa kultural seperti pendidikan seorang Nyai, menjadi seorang inpirator dan penggerak organisasi perempuan di pedesaan dan lain sebagainya.
Melalui beberapa modal sosial, struktural, dan kultural ini sosok Nyai menjadi seorang yang berdiri di tengah-tengah masyarakatnya sebagai patron yaitu keteladanan atau suri teladan. Akan tetapi, pengertian ini mengalami pergeseran dalam realitas sosial, dimana pengertian keteladanan lebih mengedepankan ketertindasan ataupun kekuatan. Sedangkan pengertian suri teladan menyiratkan sebagai orang yang senantiasa menjadi contoh bagi keberlangsungan sosial-kemasyarakatan (hal. 103).
Pengertian klien diartikan sebagai pengikut. Perempuan dianggap sebagai bagian dari klien yang harus dilindungi dan diberikan keamanan, dipenuhi segenap hidupnya. Artinya, lemah dan tidak memiliki kekuatan. Maka relasi patron-klien adalah hubungan atau relasi antara patron dan klien, dimana hubungan tersebut terjalin dalam realitas sosial yang tak seimbang. Patronase memberikan ilustrasi ketidakmampuan klien dalam berdiri secara sejajar dengan patron (hal. 104). Karena itulah, jika sosok nyai menjadi seorang yang superior di antara masyarakat lainnya dari berbagai aspeknya secara struktural, modal dan kultural.
Buku ini memfokuskan penelitiannya terhadap wilayah Madura, terlebih di Kabupaten Sumenep. Sehingga, Tatik Hidayati menemukan modal dan pola patronase Nyai Madura yang dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat Madura dari aspek-aspek sosial kemasyarakatan. Salah satunya bagaimana sosok Nyai Madura menjalankan perannya dalam kehidupan politik, dakwah, sosial atau bahkan pendidikan seperti perannya di pesantren. Dari hasil analisanya tersebut, Ia menemukan beberapa tipologi nyai di Madura seperti Nyai Pesantren, Nyai Kompolan, Nyai Panggung, Nyai politik.
Nyai Kompolan adalah istilah yang diberikan kepada sosok nyai yang berperan penting dalam kegiatan kompolan. Kompolan ini adalah semacam kegiatan majlis taklim atau biasa disebut kumpulan yang dihadiri hanya peserta kaum perempuan. Nyai ini menjadi salah satu pemimpin, motivator, dan figur sentral yang dijadikan teladan bagi perempuan peserta kompolan maupun pada upacara-upacara keagamaan. Model nyai ini berada langsung ditengah masyarakat pedesaan yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan (hal. 173)
Salah satu keunikan lainnya adalah nyai panggung. Menurut Tatik Hidayati, pada mulanya, tipologi nyai paggung berasal dari nyai pesantren atau nyai kompolan. Mereka mendampingi dan mengajari santri. Mereka mengajari santri cara menjadi perempuan, bersikap sebagai perempuan, juga fiqih wanita yang disampaikan melalui pengajian. Sehingga pada akhirnya, nyai bindhari dan alumni pesantren merasa tidak cukup memperoleh ilmu agama di pesantren sehingga mereka meminta nyai memberikan ceramah berkaitan dengan persoalan sosial yang mengitari perempuan di berbagai kompolan di Madura (hal. 181).
Tidak hanya itu, di buku ini juga dijelaskan bagaimana pola yang dibangun dalam pendidikan nyai sesuai dengan tipologi yang telah disebutkan tersebut. Pendidikan yang dibangun antara nyai pesantren, nyai kompolan, nyai politik, dan nyai panggung tentu tidak sama dan memiliki ciri khas sesuai tipologi masing-masing. Ini menunjukkan ada beragam cara dan strategi yang dilakukan oleh perempuan di Madura dalam menempuh pendidikannya sehingga bisa menjadi sosok nyai (patron) di tengah-tengah masyarakatnya. Membaca buku membuka cakrawala pengetahuan, utamanya bagi perempuan bagaimana sebenarnya menempatkan perannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sangat komplek.