Dalam hidup berbangsa dan bernegara persatuan merupakan harga mati yang harus dipegang oleh seluruh lapisan masyarakat guna mewujudkan tujuan bersama. Sebuah negara tidak akan maju dan sejahtera masyarakatnya selama elemen-elemen yang ada di dalamnya saling egois mementingkan urusan pribadi ataupun golongan tertentu.
Allah swt berfirman;
وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْا، إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ. (الأنفال: ٤٦)
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sungguh Allah SWT. beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)
Al-Imam Abu Hayyan dalam tafsir al-Bahr al-Muhith menjelaskan, pertikaian merupakan sebab melemahnya suatu bangsa yang berujung negara tidak memiliki power yang pada akhirnya akan dengan mudah dikuasai oleh para penjajah.
Dalam sebuah hadist Rasulullah Saw. menegaskan,
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ، (رَوَاهُ القَضَاعِيْ، ضَعِيْفٌ وَلَكِنُ لَهُ شَوَاهِدٌ)
“Persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah azab.” (HR. al-Qadha’i, dha’if namun punya syawahid)
Maka teranglah sudah bagaimana pentingnya sebuah persatuan.
Dalam hidup bersama perbedaan adalah sebuah keniscayaan, namun yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana kita bisa menyatukan perbedaan yang ada, mencari titik temu untuk kemudian saling melengkapi dan menguatkan. Andai setiap perbedaan harus berakhir dengan perpecahan maka niscaya tidak akan ada jalinan kasih sayang meskipun diantara saudara kandung.
Kita menyadari betul bagaimana keadaan sekarang, perbedaan agama dan aliran seolah dijadikan sekat yang begitu tebal dan tidak bisa ditembus. Parahnya, mereka yang tidak memahami agama islam secara utuh memperkeruh suasana negara yang damai dengan menyerukan peperangan atas nama islam. Saling menyalahkan dan mengkafirkan kawan mereka yang tidak sepaham.
Apakah mereka tidak memahami firman Allah Swt.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ، إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَاَنًّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنّاسِ أَجْمَعِيْنَ. (هود: ۱۱۸-۱۱۹)
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Untuk Itulah Allah SWT. menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan Nya) telah ditetapkan: ‘Sungguh Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud: 118-119)
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa manusia tak henti-hentinya memiliki perbedaan pandangan mengenai agama dan keyakinan, sebab frekuensi hidayah yang diberikan oleh Allah SWT. berbeda-beda pada setiap manusia.
Maka dari itu untuk menyikapi perbedaan tersebut dalam Fikih Kebangsaan jilid I susunan HIMASAL Lirboyo menegaskan bahwa, dalam menyikapi perbedaan agama, Ahlusunnah Wal Jama’ah lebih mengedepankan sikap menyayangi dan toleransi, merajut tali ukhuwwah basyariyyah serta membangun hubungan harmonis, karena inilah cerminan ajaran Islam sebenarnya. Sikap seperti ini sekaligus menjadi cerminan kebeningan spiritual pada diri seorang Muslim. Sedangkan sikap diskriminasi kepada non-Muslim dzimmi yang dijelaskan di berbagai kitab turats yang pada prinsipnya merupakan bagian dari siyasah dan berdasarkan maslahah rajihah (kemaslahatan yang lebih unggul), dapat berubah-ubah sesuai konteks zaman, tempat, kondisi politik dan kemaslahatan yang sangat dinamis.
Sekian semoga bermanfaat. Waallahu a’lam bi as-shawab.
Disarikan dari buku Fikih Kebangsaan jilid-I susunan HIMASAL Lirboyo.