Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 10 Agu 2024 10:07 WIB ·

Merdeka dari Kekerasan di Lembaga Pendidikan


 Merdeka dari Kekerasan di Lembaga Pendidikan Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Lembaga pendidikan acapkali menjadi sasaran empuk adanya kekerasan dari berbagai jenisnya. Karena di lembaga pendidikan ada beragam karakter manusia yang harus dipahami dan dididik dengan baik. Kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan non fisik dan beberapa bentuk kekerasan lainnya yang mengangguh terhadap nilai keramahan lembaga pendidikan apalagi kekerasan tersebut bisa berpotensi menjadi bibit radikalisme dan terorisme sehingga sangat mem bahayakan terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerbitkan Peraturan Menteri Dikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS), bahkan hingga saat ini sejumlah kampus tengah mempersiapkan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Apapun jenis dan bentuk kekerasan terhadap siapa pun harus dihapus dari lingkungan pendidikan. Kemendikbudristek menyusun dan mengesahkan Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai salah satu solusi pemberantasan tiga dosa besar pendidikan. Dan kini, kampus-kampus di seluruh Indonesia mempersiapkan pembentukan Satuan Petugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Komnas Perempuan mencatat, berdasarkan laporan langsung kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pada 2020, pihaknya menerima ada 10 laporan. Sementara kekerasan seksual dan diskriminatif pada ranah pendidikan paling tinggi terdapat pada tingkat kampus dengan jumlah 14 kasus teridentifikasi.

Kasus yang diadukan tentunya merupakan “puncak gunung es”, karena umumnya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi tidak diadukan/dilaporkan. Angka tersebut mengambarkan betapa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani kekerasan seksual sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Kasus yang diadukan umumnya menyangkut relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing penelitian dengan modus mengajak korban ke luar kota, melakukan pelecehan seksual fisik dan nonfisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi baik di dalam atau di luar kampus.

Komnas Perempuan pun mengidentifikasi sejumlah hambatan yang kerap kali menyebabkan sejumlah kasus tak terselesaikan dan merugikan korban. Mulai dari adanya impunitas pelaku kekerasan, penundaan berlarut penanganan kasus, lembaga pendidikan belum memiliki standard operating procedure (SOP) pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Serta adanya sikap victim blaming terhadap korban, yang akhirnya membuat korban enggan melapor dan dalam hal ini korban acap dinilai mencemarkan nama baik kampus.

Permendikbudristek PPKS inilah yang menjadi pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan PPKS yang terkait dengan pelaksanaan Tri Dharma di dalam atau luar kampus. Serta untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus.

Sementara itu, BNPT membentuk duta damai dan duta damai santri untuk meredam gerakan radikalisme. Selain itu, di beberapa wilayah BNPT juga hadir dengan program sekolah damai kepada sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.

Tujuan ini menjadi isyarat bahwa guru merupakan garda terdepan dalam menentukan kualitas pendidikan. Namun apa jadinya jika oknum guru-guru yang melakukan kekerasan dan melenceng dari tujuan pendidikan. Bagi tumbuh kembang anak-anak hal itu tentu sangat berbahaya di kemudian hari. Hal itu bukan tanpa alasan.

Secara konstitusional pendidikan memang tanggung jawab pemerintah. Tapi secara moral pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Oleh karena itu, untuk mewujudkan semangat sekolah sebagai taman yang menyenangkan tanpa kekerasan. Perlu sebuah upaya bersama dalam menciptakan sekolah nir-kekerasan.

Artikel ini telah dibaca 10 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tiga Sikap dan Karakter Kiai Indonesia yang Perlu Diketahui

30 Agustus 2024 - 22:31 WIB

Esensi Makna Kiai

30 Agustus 2024 - 22:20 WIB

Anak Muda dalam Membangun Kehidupan yang Toleran: Studi Kasus di Madura

30 Agustus 2024 - 20:51 WIB

Dari Khotbah ke Kabel: Peran Media dalam Agama dalam Pandangan Marshall McLuhan

30 Agustus 2024 - 20:48 WIB

Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak: Parenting Islam untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

30 Agustus 2024 - 18:39 WIB

Dari Arsitek Politik Islam sampai Post-Islamisme Perpolitikan Indonesia

30 Agustus 2024 - 18:36 WIB

Trending di Suara Santri